Menu

Mode Gelap
Satresnarkoba Polres Fakfak Musnahkan 38 Botol Sopi Ilegal, Hasil Operasi Bersinar Mansinam 2025 Refleksi Pemuda: Menyala Kembali Api Perjuangan HMI Dalam Arus Zaman Saat Rumah Tak Lagi Menjadi Tempat Pulang Pemkot Ambon Dorong ASN Aktif dalam Gerakan Wakaf Pemuda Bergerak, Indonesia Bersatu — Polres Fakfak Gelar Upacara Peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-97 Mahasiswa Keluhkan Belum Jelasnya Program 1000 Beasiswa Pemda Fakfak

Opini

Saat Rumah Tak Lagi Menjadi Tempat Pulang

badge-check


					Saat Rumah Tak Lagi Menjadi Tempat Pulang Perbesar

Oleh: Rahmiani Tiflen, S.Kep

(Aktivis Muslimah)

Rumah semestinya menjadi tempat paling nyaman bagi setiap jiwa, tempat kembali setelah lelahnya dunia. Namun kini, banyak rumah justru menjadi ruang luka. Ketika cinta berubah menjadi amarah dan kasih berubah menjadi kekerasan, kita patut bertanya, ada apa dengan keluarga kita hari ini? Fenomena meningkatnya kekerasan dalam rumah tangga dan brutalitas remaja bukan lagi kasus terpisah, melainkan cermin dari retaknya sistem sosial dan moral bangsa.

Gelombang Kekerasan yang Mengoyak Nurani

Berita-berita kekerasan kini datang silih berganti dan semakin sulit diterima akal sehat. Di Malang, seorang suami siri tega membakar dan mengubur istrinya di kebun tebu (BeritaSatu, 20/10/2025). Di Dairi, seorang ayah melakukan kekerasan seksual terhadap anak kandungnya hingga 30 kali (Kompas, 18/10/2025). Sungguh, ini di luar akal sehat.

Bahkan generasi muda pun, ikut terseret dalam pusaran kekerasan. Seorang remaja 16 tahun di Jakarta membacok neneknya karena tersinggung disebut cucu pungut. Sementara itu di Grobogan, pelajar SMP tewas dikeroyok teman sekolahnya sendiri. Deretan peristiwa ini bukan hanya catatan kriminal, tapi merupakan simbol dari, rumah yang kehilangan makna kasih dan negara yang gagal melindungi.

Data GoodStats (18/10/2025) menunjukkan bahwa jumlah kasus KDRT di Indonesia mencapai lebih dari 10.000 perkara hingga September 2025. Angka ini hanyalah puncak gunung es; di bawahnya, ribuan korban mungkin memilih diam karena takut, malu, atau tidak tahu ke mana mencari perlindungan.

Yang lebih mengkhawatirkan, retaknya ketahanan keluarga berdampak langsung pada perilaku remaja. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan penuh kekerasan meniru apa yang mereka lihat. Mereka belajar bahwa kekuatan berarti menindas, bahwa marah adalah cara untuk didengar. Maka kekerasan bergulir dari generasi ke generasi, menjadi lingkaran setan yang sulit diputus.

Akar yang Merapuhkan Cinta dan Moralitas

Jika ditelusuri, akar masalah ini tidak sekadar pada tekanan ekonomi atau lemahnya penegakan hukum. Sesungguhnya inti permasalahan ini terletak pada pandangan hidup yang sekuler, yaitu menihilkan peran agama dari kehidupan. Sekularisme menjadikan manusia berhak mengatur dirinya tanpa tuntunan wahyu.

Ketika nilai-nilai spiritual disingkirkan, keluarga kehilangan landasan takwa. Hubungan suami-istri menjadi transaksional, bukan ibadah. Anak-anak kehilangan figur teladan karena orang tua sibuk mengejar dunia. Nilai sabar, hormat, dan tanggung jawab terkikis oleh kebebasan dan egoisme.

Dari rahim sekularisme, kemudian lahir pendidikan liberal yang menanamkan kebebasan tanpa batas dan individualisme ekstrem. Anak dididik untuk menjadi “bebas”, bukan “bertanggung jawab”. Dalam iklim seperti itu, kasih sayang berganti dengan kompetisi, dan moral berganti dengan relativisme.

Sementara materialisme, yang menjadi ruh sistem kapitalistik, menanamkan pandangan bahwa kebahagiaan hanya bisa dibeli dengan harta dan status. Akibatnya, sedikit tekanan hidup saja dapat memicu pertengkaran, bahkan kekerasan.

Di sini, negara pun ikut gagal menunaikan peran pelindungnya. Undang-Undang Penghapusan KDRT hanya berfungsi sebagai alat reaktif, yang menindak setelah kekerasan terjadi. Ia tidak menyentuh akar permasalahan lebih dalam, yaitu adanya sistem kehidupan yang salah arah serta mengabaikan nilai-nilai Ilahiah.

Jalan Sistematis Membangun Keluarga dan Menjaga Generasi

Islam menawarkan solusi yang bukan sekedar tambalan, tetapi penyembuhan dari akar. Sebab Islam menempatkan keluarga sebagai pilar peradaban dan menjadikannya tempat bertumbuhnya cinta, kasih, dan tanggung jawab spiritual.

اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ…

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita… (QS An-Nisa’ : 34)

Ayat ini bukanlah legitimasi patriarki, namun penegasan peran dan tanggung jawab. Suami diposisikan sebagai qawwam — pemimpin, pelindung, dan penanggung jawab utama bagi keluarga. Ia bukan penguasa, tapi penjaga. Sementara istri adalah ummun wa rabbatul bait, sumber ketenangan dan penjaga kehormatan rumah tangga. Ini ditegaskan pula melalui sabda Rasulullah Saw :

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya, dan aku adalah yang paling baik kepada keluargaku.”(HR. Tirmidzi)

Pun dalam sistem Islam, negara berperan sebagai _raa’in_ yaitu pelindung rakyat. Negara memastikan kesejahteraan keluarga melalui distribusi ekonomi yang adil, pendidikan berbasis akidah Islam, serta penegakan hukum syara’ yang menjerakan dan mendidik.

Hukum dalam Islam tidak berdiri sendiri, melainkan menjadi bagian dari tatanan yang menjaga kehormatan manusia. Sanksi bukan semata hukuman, tetapi bentuk kasih sayang Allah Swt agar masyarakat tidak terjerumus ke dalam keburukan yang lebih dalam.

Dengan penerapan Islam secara menyeluruh, keluarga tidak hanya menjadi institusi sosial, tetapi benteng moral dan spiritual yang melahirkan generasi bertakwa, generasi yang memahami makna cinta sebagai ibadah, bukan kepemilikan.

Menjemput Harapan

Kekerasan dalam rumah tangga dan perilaku brutal remaja adalah cerminan nyata dari peradaban sekuler yang kehilangan arah dan nurani. Kita boleh hanya memperbanyak seminar parenting, memperketat hukum, dan menggencarkan kampanye moral. Selama akar sekularisme masih menjadi dasar sistem kehidupan, semua itu hanya akan menjadi ilusi sementara.

Kini saatnya kita jujur menatap akar persoalan, bahwa keluarga yang kokoh hanya bisa lahir dari sistem yang berlandaskan iman dan takwa. Islam tidak hanya mengajarkan moral individu, tetapi membangun sistem sosial yang melindungi, mendidik, dan menumbuhkan manusia agar hidup selaras dengan fitrahnya.

Ketika Allah Swt., kembali menjadi pusat kehidupan, maka cinta akan kembali bermakna ibadah, keluarga akan kembali kokoh, dan generasi akan kembali beradab. Sebab hanya di bawah cahaya Ilahi, rumah benar-benar menjadi tempat pulang — bukan ruang luka.

Wallahu ‘alam bissawab.

Baca Lainnya

Refleksi Pemuda: Menyala Kembali Api Perjuangan HMI Dalam Arus Zaman

29 Oktober 2025 - 09:11

BLT dan Magang Nasional, Solusi Cepat tapi Tak Tepat

24 Oktober 2025 - 06:21

Akademisi Fakfak, Marthen Pentury: Masalah Air Bersih Tak Kunjung Tuntas, Ini Trauma Kolektif Masyarakat

23 Oktober 2025 - 19:10

Hakikat Berpikir dalam Pandangan 3 Ideologi

21 Oktober 2025 - 08:54

Dr. Ronald Helweldery Tegaskan Pentingnya Jalur Laut ke Barat untuk Majukan Fakfak

21 Oktober 2025 - 06:59

Trending di Opini
WhatsApp
error: