EMBARANMEDIA.COM, FAKFAK – Di tengah arus modernisasi dan kemajuan teknologi, ada warisan budaya lisan masyarakat Mbaham Matta yang perlahan mulai terlupakan, yakni nongnong dan kenebi. dua bentuk seni tutur yang sarat makna dan perasaan.
Pemerhati budaya Fakfak, Stephanus Weripang, mengungkapkan keprihatinannya terhadap semakin pudarnya tradisi ini di tengah generasi muda. Ia berharap ke depan, seni budaya nongnong dapat diajarkan di tingkat pendidikan, terutama di sekolah-sekolah menengah di Kabupaten Fakfak.
“Nongnong ini sebenarnya sejenis budaya atau seni khas orang Mbaham Matta. Banyak yang masih bisa menuturkan, tapi untuk menyampaikannya kembali memang agak sulit. Mudah-mudahan ke depan bisa ditularkan lewat dunia pendidikan,” ujarnya.
Stephanus menjelaskan, banyak yang keliru mengartikan nongnong sebagai pantun. Padahal, nongnong bukanlah pantun, melainkan bentuk senandung jiwa — ungkapan perasaan, isi hati, dan keadaan batin seseorang pada suatu waktu.
“Nongnong itu seperti kita bersenandung. Dulu, sebelum ada media dan teknologi, orang Mbaham Matta menggunakan nongnong untuk menyampaikan isi hati, bahkan sebagai tanda bagi keluarga yang jauh,” jelasnya.
Ia mencontohkan, pada masa lalu, saat seseorang duduk di sore hari di para-para sambil menyeruput kopi, dan melihat asap di kejauhan, itu bisa menjadi tanda. Dari kejauhan, seseorang akan “nong” — bersenandung untuk menyapa, merindukan keluarga, atau mengenang kisah dengan kekasih yang jauh.
Menariknya, nongnong terbagi menjadi dua jenis, salah satunya disebut kenebi.
Kenebi adalah bentuk senandung duka yang dilantunkan saat ada keluarga yang meninggal dunia.
“Kalau ada yang meninggal, terutama di kalangan orang Mbaham Matta, biasanya mama-mama langsung bersenandung dari depan pintu rumah, menyampaikan rasa kehilangan dan kesedihan lewat kenebi,” tambah Stephanus.
Baginya, nongnong dan kenebi bukan sekadar warisan budaya, tetapi juga cermin kepekaan jiwa dan kedalaman rasa orang Mbaham Matta. Ia berharap generasi muda Fakfak bisa kembali mengenal dan melestarikan seni tutur ini agar tidak hilang ditelan waktu.
Penulis: Arya Sanaky || Editor: Redaksi Embaranmedia







