EMBARANMEDIA.COM, FAKFAK – Persoalan transportasi di Kabupaten Fakfak kembali menjadi perhatian publik setelah salah seorang Akademisi di Fakfak Papua Barat, Marthen Anton Pentury, SE, M.Sc menyampaikan pandangannya kepada Embaran Media melalui pesan suara WhatsApp pada Senin (17/11/2025).
Dalam penyampaiannya, ia berharap opininya dapat menjadi masukan konstruktif bagi pemerintah daerah.
Akademisi Marthen menyampaikan, transportasi di Fakfak tidak hanya berkaitan dengan transportasi laut dan udara, namun juga harus mencakup transportasi darat. Memulai dari persoalan transportasi darat yang menurutnya mengalami banyak perubahan dalam beberapa tahun terakhir.
Perubahan itu, kata Marten, bukan hanya positif tetapi juga mengarah pada hal-hal negatif karena hilangnya beberapa sarana layanan angkutan umum yang sebelumnya menjadi kebutuhan masyarakat.
Ia mencontohkan hilangnya taksi kuning dan taksi merah yang dulu melayani trayek pusat kota hingga wilayah puncak.
“Sekarang kan tidak ada lagi taksi kuning, tidak ada lagi taksi merah yang layani trayek puncak, Tambaruni, dan beberapa wilayah lain. Ini jadi pertanyaan besar,”tegasnya.
Ia menjelaskan beberapa mahasiswa bahkan sudah melakukan penelitian terkait persoalan tersebut. Namun hingga kini, belum ada kebijakan signifikan dari Pemerintah Daerah yang mempermudah masyarakat untuk mendapatkan layanan angkutan umum yang layak.

Posisi angkutan umum ini, lanjut Marthen, kemudian diambil alih oleh ojek, termasuk ojek pangkalan dan pemain baru seperti Maxim. Namun keberadaan Maxim sempat menuai protes karena belum adanya regulasi daerah yang mengatur sistem transportasi ojek di Fakfak.
“Baik ojek tradisional maupun Maxim seharusnya diatur pemerintah. Penentuan tarif tidak boleh sesuka hati karena masyarakat yang dirugikan,” jelasnya.
Selain transportasi darat, Akademisi STIA Asy-Syafi’iyah Fakfak juga menyoroti transportasi udara yang dinilai bermasalah karena tidak adanya maskapai pesaing selain Wings Air.
Hal ini, menurutnya, berpotensi menciptakan monopoli yang merugikan masyarakat.
Ia menjelaskan bahwa persaingan sehat antar maskapai perlu dibuka, agar harga tiket tidak hanya dapat diakses oleh kalangan tertentu saja.
“Pemerintah daerah harus memberikan peluang yang sama kepada maskapai lain untuk beroperasi di Fakfak. Bukan hanya itu sj tetapi harus melihat juga biaya transportasi dari kota menuju Bandara Siboru juga menjadi persoalan tersendiri. Jarak yang jauh membuat biaya taksi rental sangat tinggi, terlebih jika penerbangan dibatalkan. Hal ini membuat masyarakat harus mengeluarkan biaya dua hingga tiga kali lipat hanya untuk perjalanan darat,”ungkapnya.
“Kalau sekali pergi 500 ribu, lalu pesawat cancel, besok pulang-pergi lagi sudah 1,5 juta. Ini bahkan lebih mahal dari tiket Fakfak–Sorong,”tambah Marthen.
Marthen juga menyoroti kondisi infrastruktur jalan menuju Bandara Siboru yang dinilai membahayakan pengguna jalan. Sejumlah ruas memiliki tikungan tajam, tanaman liar tinggi, hingga lubang-lubang jalan yang dibiarkan terlalu lama tanpa perbaikan.
Selain itu, minimnya penerangan jalan di beberapa titik yang menjadi jalur transportasi menuju bandara turut memperbesar risiko kecelakaan. Menurutnya, kejadian ini pernah dialami oleh beberapa pengendara, namun tidak mendapat perhatian serius pemerintah daerah.
Kemudian, Marthen pun menegaskan, pemerintah daerah harus hadir memberikan solusi melalui regulasi yang jelas. Mulai dari pengaturan transportasi ojek, kompetisi maskapai, hingga perbaikan jalan menuju Bandara Siboru.
“Kebijakan itu harus menguntungkan semua masyarakat, bukan hanya sebagian pihak. Pemerintah wajib melihat persoalan transportasi ini secara menyeluruh,”pintanya.
Jurnalis: Ramli Rumbati || Editor: Redaksi Embaranmedia







