EMBARANMEDIA.COM, FAKFAK – Salah satu Akademisi dari Fakfak, Papua Barat, Marthen Anton Pentury, SE, M.Sc kembali menyoroti persoalan tata ruang Kabupaten Fakfak yang dinilainya masih belum tertata dengan baik.
Menurut Akademisi Marthen, bagi orang-orang yang memahami perencanaan wilayah, tata ruang adalah aspek yang sangat penting untuk pengembangan suatu daerah dalam jangka panjang, khususnya 10 hingga 20 tahun ke depan.
Ia menekankan bahwa penataan ruang seharusnya selaras dengan dokumen perencanaan pembangunan daerah seperti RPJPD dan RPJMD kabupaten/kota, dan menjadi dasar dalam penyusunan RKP/RKPD tahunan. Namun, menurut pengamatannya, aspek ini sering diabaikan dan tidak menjadi fokus utama pemerintah daerah.
“Masyarakat Fakfak tidak pernah benar-benar merasakan hasil dari penyediaan sarana prasarana dan fasilitas umum yang terencana. Penentuan kawasan pun tidak jelas—masyarakat tidak mengetahui mana kawasan strategis, kawasan ekonomi, sosial, atau kawasan terbatas yang boleh atau tidak boleh dimanfaatkan,”ujar Marthen kepada media ini via Whatshaap, Rabu (28/05/2025).
Salah satu contoh nyata adalah Terminal Thumburuni yang kini terbengkalai dan tidak dimanfaatkan. Padahal, aset seperti ini seharusnya bisa digunakan untuk kepentingan masyarakat. Bahkan, jembatan di sekitar area tersebut hanya tersisa puing-puing karena tidak ada inisiatif dari pemerintah untuk mengoptimalkan penggunaannya.
Masalah ini menurutnya, terjadi karena belum diimplementasikannya dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang Wilayah (RDTR) secara baik. Akibatnya, masyarakat beraktivitas tanpa arah, seperti pedagang kaki lima yang berjualan di sepanjang Jalan Dr. Salasa Namudat. Ketika ada larangan dari instansi terkait, masyarakat menjadi bingung, padahal mereka tidak tahu harus berjualan di mana. Penataan seperti ini seharusnya diatur dengan jelas dalam dokumen tata ruang.
Sebagai warga, Marthen pun mempertanyakan keberadaan dan keterbukaan dokumen RTRW Kabupaten Fakfak. Pemerintah daerah memiliki kewajiban untuk menyediakan dokumen ini sesuai amanat regulasi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Ia juga mengkritisi kecenderungan masyarakat yang melanggar penentuan kawasan karena kurangnya sosialisasi dari OPD teknis, seperti Dinas PUPR Bidang Tata Ruang. Menurutnya, berdasarkan Permen ATR/BPN No. 11 Tahun 2021, dokumen RDTR seharusnya dibuat dalam bentuk digital dan disosialisasikan agar mudah diakses oleh masyarakat. Namun kenyataannya, akses terhadap dokumen tersebut masih sangat terbatas.
Marthen berharap, dibawah kepemimpinan Bupati Fakfak Samaun Dahlan dan Wakil Bupati Fakfak Donatus Nimbitkendik, dokumen RTRW dan RDTR bisa menjadi dasar pembangunan daerah ke depan. Dokumen ini bukan hanya mencakup wilayah darat, tetapi juga laut dan udara. Dengan demikian, pembangunan di Fakfak lima tahun ke depan tidak keluar dari rambu-rambu hukum dan regulasi yang telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah.
Aspek penting lain dalam dokumen tata ruang adalah pengaturan hutan lindung dan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Ia menegaskan bahwa kejelasan tentang apakah sebuah kawasan telah sesuai dengan peruntukan dalam dokumen RDTR atau tidak, sangat penting untuk menjamin kenyamanan dan keseimbangan lingkungan.
Marthen juga mengajak seluruh OPD terkait untuk meninjau dan memperbarui isi dokumen perencanaan tata ruang baik yang bersifat umum maupun detail. Dokumen tersebut harus dikonsultasikan dan disampaikan kepada kepala daerah, serta disosialisasikan kepada masyarakat. Hal ini penting agar pembangunan ke depan tidak menyalahi peraturan yang berlaku, dan agar masyarakat benar-benar dapat menikmati hasil pembangunan yang tertata dan terarah. (EM/RR).