Oleh : Rahmiani Tiflen, Skep. Aktivis Muslimah
EMBARANMEDIA.COM – Manusia adalah makhluk yang berpikir. Namun cara ia berpikir—dan bagaimana ia memaknai aktivitas berpikir itu sendiri—sangat ditentukan oleh ideologi yang mendasari pandangan hidupnya. Setiap ideologi memiliki akar epistemologis yang berbeda, yang pada gilirannya melahirkan cara pandang berbeda terhadap realitas, kehidupan, dan bahkan terhadap eksistensi manusia itu sendiri.
Tiga ideologi besar dunia hari ini—Islam, sosialisme-komunisme, dan sekuler-kapitalisme—menawarkan tiga pandangan yang sangat kontras tentang apa itu berpikir, bagaimana berpikir dilakukan, dan apa tujuan dari berpikir.
Berpikir sebagai Aktivitas Akal yang Terpimpin Wahyu
Dalam pandangan Islam, berpikir (at-tafkīr) adalah proses menghubungkan fakta yang terindra dengan maklumat sebelumnya melalui otak manusia, untuk menghasilkan pemahaman yang benar terhadap realitas. Dengan kata lain, berpikir tidak sekadar aktivitas biologis otak, melainkan proses kesadaran rasional yang diikat oleh pengetahuan sebelumnya (al-ma‘lūmāt as-sābiqah).
Empat unsur utama yang harus ada dalam proses berpikir adalah:
1. Otak (al-dimāgh) – sebagai alat berpikir.
2. Fakta yang terindra (al-maudū‘ al-mahsūs) – objek yang ditangkap oleh pancaindra.
3. Indra yang sehat (al-hawās) – sarana untuk mengantarkan fakta kepada otak.
4. Maklumat sebelumnya (al-ma‘lūmāt as-sābiqah) – pengetahuan awal yang menjadi dasar menghubungkan fakta dan makna.
Jika salah satu unsur ini tidak ada, maka berpikir tidak akan sempurna. Sebab otak yang menerima fakta tanpa maklumat sebelumnya tidak akan mampu memahami makna dari fakta tersebut. Inilah sebabnya mengapa Islam menempatkan ilmu sebagai kunci berpikir benar, dan wahyu sebagai sumber pengetahuan tertinggi.
Dengan berpikir, manusia diarahkan untuk mengenal realitas ciptaan, lalu sampai pada pengakuan terhadap Sang Pencipta. Allah ﷻ berfirman:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.”(QS. Āli ‘Imrān: 190)
Maka berpikir dalam Islam tidak berhenti pada realitas materi, tetapi menembusnya—menuju kesadaran akan eksistensi Allah dan peran wahyu dalam mengatur kehidupan. Di sinilah berpikir menjadi ibadah dan sarana untuk memperteguh iman.
Sosialisme-Komunisme: Berpikir sebagai Aktivitas Materi
Berbeda dengan Islam, ideologi sosialisme-komunisme mendasarkan seluruh bangunan berpikirnya pada materialisme dialektis. Dalam pandangan ini, materi adalah realitas satu-satunya, dan seluruh fenomena kehidupan—termasuk kesadaran dan pikiran manusia—adalah hasil dari interaksi material semata.
Karl Marx dan Friedrich Engels menyatakan bahwa kesadaran bukanlah yang menentukan kehidupan, tetapi kehidupan materi yang menentukan kesadaran. Otak manusia, bagi mereka, hanyalah produk evolusi materi. Maka berpikir hanyalah aktivitas biologis yang lahir dari reaksi materi otak terhadap kondisi lingkungan.
Engels dalam Dialectics of Nature menulis: “Kesadaran dan pikiran adalah produk tertinggi dari materi yang berkembang, yaitu otak manusia.”
Dengan demikian, dalam sosialisme-komunisme:
– Tidak ada konsep ruh (hubungan manusia dan Khaliknya), wahyu, atau alam gaib.
– Akal hanyalah fungsi fisiologis otak.
– Ide dan moral adalah cerminan dari kondisi ekonomi dan sosial.
Berpikir diukur dari sejauh mana seseorang memahami dan mengubah realitas material di sekitarnya. Tujuan berpikir bukan mencari kebenaran hakiki, melainkan mengubah struktur materi menuju masyarakat tanpa kelas.
Namun inilah bentuk kerusakan berpikir yang paling fatal: manusia menafikan hakikat dirinya sebagai makhluk yang lemah, terbatas, dan membutuhkan sesuatu untuk tempat bergantung. Ketika ia menolak adanya Sang Pencipta, maka lenyaplah sumber maklumat sebelumnya yang menjadi dasar berpikir yang benar. Akhirnya manusia terjebak dalam lingkaran material, tak mampu menembus batas realitas yang kasat mata.
Sekuler-Kapitalisme: Berpikir sebagai Aktivitas Rasional Demi Manfaat
Sementara itu, ideologi sekuler-kapitalisme menempatkan akal manusia sebagai sumber pengetahuan dan hakim tertinggi atas realitas, tetapi tidak se-materialistis komunisme. Kapitalisme masih mengakui keberadaan Tuhan, namun hanya sebatas urusan pribadi—tidak boleh masuk ke wilayah kehidupan sosial, ekonomi, dan politik.
Bagi kapitalisme, berpikir adalah aktivitas rasional untuk menemukan manfaat dan kebenaran praktis melalui observasi, logika, dan pengalaman empiris. Tujuannya bukan mencari makna eksistensial, tetapi menemukan apa yang berguna bagi kebahagiaan duniawi.
Filsuf seperti René Descartes menyatakan: “Cogito ergo sum” — Aku berpikir, maka aku ada.
Ungkapan ini menggambarkan inti pandangan kapitalisme: keberadaan manusia diukur dari akalnya sendiri, bukan dari hubungannya dengan Tuhan. Akal menjadi ukuran segalanya; kebenaran bersifat relatif, tergantung kesepakatan manusia dan manfaat yang dihasilkannya.
Maka dalam sistem ini, berpikir menjadi instrumen untuk mencapai kebebasan dan kepuasan materi, bukan untuk menemukan hakikat kehidupan. Inilah sebabnya kapitalisme melahirkan peradaban yang sangat maju secara teknologi, namun miskin makna dan terpuruk secara spiritual.
Penutup
Ketika sosialisme menafikan Tuhan secara terang-terangan, dan kapitalisme mengurung Tuhan dalam ruang privat, keduanya sesungguhnya sama-sama menolak peran wahyu dalam kehidupan.
Keduanya menjadikan akal manusia yang terbatas sebagai sumber kebenaran mutlak, padahal akal hanyalah alat, bukan hakim atas realitas.
Islam datang untuk menyelamatkan akal dari kesesatan berpikir itu.
Ia menempatkan akal pada posisi yang benar—sebagai alat untuk memahami fakta, bukan sumber kebenaran. Sebab kebenaran sejati hanya datang dari Allah Swt melalui wahyu-Nya.
Tanpa wahyu, pemikiran manusia akan kehilangan arah, tersesat dalam relativisme dan kehampaan spiritual.
Dengan wahyu, berpikir menjadi cahaya yang menuntun manusia mengenal dirinya, memahami tujuan hidupnya, dan menapaki jalan yang lurus menuju Tuhannya.
اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Allah adalah cahaya langit dan bumi.”(QS. An-Nūr: 35). Wallahu ‘alam bissawab.