Oleh: Arya Sanaky
Ketua Bidang Perguruan Tinggi, Kemahasiswaan dan Pemuda | HMI Cabang Fakfak
Setiap tanggal 28 Oktober, bangsa ini kembali menoleh ke sejarahnya sendiri ke satu momentum sakral di mana sekelompok pemuda dari berbagai daerah, suku, dan latar belakang berdiri tegak mengikrarkan Sumpah Pemuda.
Mereka bersumpah bertumpah darah satu, tanah air Indonesia; berbangsa satu, bangsa Indonesia; dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Ikrar itu bukan sekadar kata-kata, melainkan saksi lahirnya kesadaran kolektif pemuda Indonesia yang meyakini bahwa masa depan bangsa ini ada di tangan mereka. Sejak saat itu, pemuda menjadi motor perubahan, penentu arah sejarah, dan penyalur energi perjuangan bangsa.
Namun, sembilan puluh enam tahun setelah Sumpah Pemuda dikumandangkan, pertanyaan besar muncul, masihkah semangat itu menyala di dada kita hari ini?
Apakah kita masih mewarisi idealisme para pemuda 1928, ataukah semangat itu terkubur oleh apatisme dan ego diri?
Dua dekade setelah Sumpah Pemuda, lahirlah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada 5 Februari 1947 bertepatan dengan 14 Rabiul Awal 1366 H.
Seorang pemuda bernama Lafran Pane menjawab panggilan zaman dengan cara yang berbeda. ia tak hanya menyatukan semangat kebangsaan, tetapi juga menyuntikkan nilai keislaman sebagai fondasi perjuangan bangsa.
Lafran Pane memahami, bahwa Indonesia yang baru merdeka membutuhkan pemuda beriman, berilmu, dan berdaya cipta. bukan hanya berteriak di jalan, tapi berpikir di ruang-ruang akademik dan bekerja nyata untuk umat.
HMI lahir sebagai jembatan antara Islam dan Indonesia, memperkuat makna Sumpah Pemuda dalam konteks spiritual dan intelektual. Dan kini, tujuh puluh delapan tahun setelahnya, api itu telah diwariskan kepada kita, kader HMI termasuk HMI Cabang Fakfak.
Pertanyaannya: apakah api itu masih menyala di dada kita?, atau telah padam oleh rasa nyaman dan ketidakpedulian?
Kita hidup di era yang serba cepat dan penuh distraksi.
Media sosial menjadi panggung baru untuk eksistensi, namun bukan lagi ruang aktualisasi perjuangan. Kader HMI sibuk memperdebatkan hal remeh di ruang maya, tetapi absen di forum diskusi yang membentuk nalar. Kita bangga memakai jaket hijau hitam, tapi lupa arti pengorbanan di balik warna itu.
Padahal, apatisme adalah bentuk pengkhianatan terhadap cita-cita pendiri. Saat kita menutup mata terhadap realitas Fakfak, dari pengangguran pemuda, lemahnya literasi, hingga masalah sosial yang belum terselesaikan. maka saat itu pula kita sedang memadamkan obor perjuangan Lafran Pane dan semangat Sumpah Pemuda dalam diri kita sendiri.
Khitah HMI jelas: membentuk insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridai Allah SWT. Di tengah problem sosial, ekonomi, dan politik hari ini, itulah arah yang harus kita tegakkan kembali.
Kader HMI Fakfak harus mampu hadir di setiap lini:
- Sebagai penggerak ekonomi lokal, melahirkan ide-ide kreatif dan inovatif yang berpihak pada masyarakat kecil.
- Sebagai penyalur aspirasi rakyat, menjaga integritas politik dan memperjuangkan suara keadilan.
- Sebagai penjaga moral sosial, memelihara nilai keislaman dan keindonesiaan di tengah disorientasi generasi muda.
Inilah wujud modern dari Sumpah Pemuda: bukan hanya bersatu dalam kata, tetapi berjuang dalam karya.
Rumah Hijau Hitam bukan sekadar tempat berkumpul, bukan sekadar simbol di media sosial. Ia adalah pusat pembentukan karakter, gagasan, dan kesadaran perjuangan. Namun, rumah ini akan kehilangan maknanya bila para penghuninya memilih diam dan nyaman dalam ketidakterlibatan.
Di momentum Sumpah Pemuda ini, mari jadikan HMI sebagai ruang lahirnya gagasan, perdebatan sehat, dan aksi nyata.
Kita bukan generasi yang lahir untuk diam, tapi generasi yang dipanggil untuk berbuat.
Kita tidak kekurangan potensi, yang kurang hanyalah kesadaran kolektif untuk bergerak bersama.
Mari kobarkan kembali api intelektual dan sosial di tanah Fakfak tercinta. Mari wujudkan Islam yang mencerahkan dan keindonesiaan yang membebaskan.
Karena HMI bukan sekadar organisasi, ia adalah amanah sejarah. Dan setiap kader adalah penjaga apinya.
Fakfak, 28 Oktober 2025







