Menu

Mode Gelap
Tantangan Orang Tua Mendidik Anak dalam Pusaran Kapitalisme Sambut Natal, Fakfak Gelar Lomba Pondok Hias Bernuansa Kebersamaan Kelapa Hibrida untuk Masa Depan: Cerita Kolaborasi KKN UNIMUDA dan GERTAK Fakfak di Werba Utara LMA Fakfak Soroti 24 Tahun Otsus Belum Merata Fakfak Dorong Hilirisasi Pala Nasional: 200 Hektare Pala Unggul Mulai Ditanam di 2025 HMI Cabang Fakfak Silaturahmi Bersama Bupati Bahas Isu Strategis Daerah

Opini

Tantangan Orang Tua Mendidik Anak dalam Pusaran Kapitalisme

badge-check


					Screenshot Perbesar

Screenshot

Oleh : Rahmiani Tiflen, Skep

Aktivis Muslimah

EMBARANMEDIA.COM – Di sebuah forum diskusi parenting, seorang ibu mengajukan pertanyaan yang sesungguhnya mewakili keresahan banyak orang tua hari ini.

“Bagaimana caranya agar anak-anak mau mendengar dan menuruti apa kata orang tua? Di rumah mereka terlihat baik dan penurut, tapi di belakang kita, siapa yang tahu apa yang mereka lakukan. Bahkan ada yang berani melawan. Padahal pemahaman Islam sudah kita berikan.”

Pertanyaan itu tampak sederhana, tetapi hakikatnya menyentuh inti persoalan pendidikan anak: bahwa kepatuhan dan kesadaran tidak otomatis tumbuh hanya karena ada perintah atau penjelasan agama. Banyak orang tua mengira bahwa selama nasihat telah diberikan, anak akan memahaminya dan bertindak sesuai harapan. Namun kenyataan sering berbeda. Anak bisa terlihat patuh saat diawasi, tetapi berubah ketika berada di luar pandangan. Ia mengikuti teman, media, atau lingkungan yang menawarkan pengaruh lain.
Di sini terlihat jelas bahwa kepatuhan fisik tidak identik dengan kepatuhan yang berakar dari kesadaran.

Ketika Kapitalisme Menjadi Lingkungan Besar yang Mendidik Anak

Masalah ini semakin berat ketika kita menyadari bahwa proses mendidik anak berlangsung dalam tatanan kapitalisme sekuler, sebuah sistem yang menempatkan kebebasan individu, manfaat ekonomi, dan kepuasan materi sebagai tujuan utama. Dampak sistem ini merembes hingga ke lingkungan anak sehari-hari, yaitu;

1) Terganggunya moral dan nilai keluarga.
Di mana anak tumbuh di tengah pesan yang bertentangan dengan Islam, dari media, sekolah, pergaulan, hingga iklan yang menjadikan gaya hidup materialistis sebagai standar.

2) Tekanan hidup orang tua.
Banyak orang tua harus bekerja keras memenuhi kebutuhan hidup, sehingga waktu untuk mendampingi dan membentuk karakter anak menjadi sangat terbatas.

3) Individualisme yang tumbuh sejak dini.
Kapitalisme menanamkan bahwa kebahagiaan pribadi adalah hal yang utama; akibatnya, anak lebih mudah menolak aturan yang dianggap membatasi dirinya.

4) Minimnya ruang bagi nilai spiritual.
Sistem sekuler memisahkan agama dari kehidupan publik, membuat pembentukan kesadaran keimanan tidak berjalan menyeluruh.

4) Pengaruh budaya global melalui teknologi.
Dunia digital membuat anak dapat mengakses konten yang jauh dari akhlak Islami, tanpa adanya filter moral dan agama.

Semua ini membuat tugas orang tua menjadi lebih sulit. Bukan karena mereka kurang berusaha, tetapi disebabkan sistem yang berlaku tidak mendukung pendidikan berbasis akidah yang notabenenya ditanamkan sejak dari rumah.

Dalam Islam, Pendidikan Tidak Berdiri Sendiri

Islam memandang bahwa mendidik anak adalah tanggung jawab kolektif; bukan hanya keluarga, tetapi juga masyarakat dan negara.

Keluarga menjadi fondasi pertama, tempat anak menyerap nilai melalui pemahaman, teladan, pembiasaan, dan penjagaan.

Kemudian adanya masyarakat yang berperan sebagai atmosfer pendukung, di mana guru, tetangga, dan ulama ikut menjaga lingkungan moral yang sehat.

Sementara negara dalam Islam berfungsi sebagai pelindung utama, menyediakan pendidikan berbasis akidah, menjaga budaya, serta melindungi anak dari pengaruh tsaqafah asing seperti kapitalisme, sekularisme, liberalisme, sosialisme, komunisme, dan berbagai isme lainnya.

Sayangnya, hari ini fungsi tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya. Sekolah, media, dan berbagai sistem sosial lainnya justru mengadopsi nilai sekuler-liberal yang membuat anak terpapar pengaruh negatif sejak dini. Orang tua akhirnya memikul beban yang seharusnya ditanggung bersama oleh masyarakat dan negara.

Dari Pemahaman Menuju Kesadaran

Kepatuhan sejati lahir dari pemahaman yang menyentuh akal dan kesadaran yang meresap ke hati. Perintah orang tua tak cukup jika tidak dijelaskan alasan, tujuan, dan hikmahnya.

Contoh sederhana, sholat.
Jika anak hanya diperintah “sholat!” tanpa memahami bahwa hal tersebut adalah konsekuensi keimanan, hingga mendidik disiplin, menghadirkan ketenangan, dan menghubungkannya kepada Dzat yang menciptakan-Nya, maka kepatuhan anak akan terbatas pada formalitas belaka. Ketika pengawasan hilang darinya, maka perbuatannya pun ikut berubah.

Ketika pemahaman si anak berubah menjadi kesadaran, yakni nilai Islam telah menjadi standar berfikir dan bertingkah laku. Maka anak tidak lagi patuh karena takut, tetapi karena mengerti apa yang benar bagi dirinya, bagi orang tuanya, dan di hadapan Allah Swt.
Inilah yang menumbuhkan birrul walidain yang konsisten meski hidup di tengah dunia yang mengagungkan kebebasan.

Pembiasaan dan Penjagaan adalah Dua Pilar Praktis

Pemahaman dan kesadaran harus ditemani oleh sistematika berupa rutinitas yang terstruktur.
Anak perlu dibiasakan dalam hal ibadah harian, adab makan, adab berbicara, dan aturan berperilaku. Pembiasaan-pembiasaan bertahap (tadrij) membentuk karakter seperti menanam benih lalu merawatnya dengan penuh kesabaran.

Penjagaan lingkungan juga sangat penting. Bukan berarti orang tua harus mengawasi setiap detik, tetapi memastikan bahwa dunia di sekitar anak mendukung nilai yang telah diajarkan orang tua, sekolah hingga masyarakat. Dan fondasinya adalah keteladanan orang tua.
Anak belajar lebih banyak dari apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan dibanding dari kalimat-kalimat yang diucapkan.

Pendidikan dalam Islam: Hikmah sebagai Metode

Allah Ta’la memerintahkan agar pendidikan dan dakwah dilakukan dengan hikmah, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an..

ٱدْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلْحِكْمَةِ وَٱلْمَوْعِظَةِ ٱلْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُم بِٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang terbaik.”(QS. An-Nahl:125)

Bersamaan dengannya, ayah pun ikut memikul peran strategis sebagai pemimpin dalam rumah tangga. Hal tersebut telah Allah Swt tetapkan dalam QS. An-Nisāʼ:34.

ٱلرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ…
“Kaum laki-laki adalah pemimpin dan penanggung jawab atas kaum wanita…”
(QS. An-Nisāʼ:34)

Dan Allah Ta’ala pun tegaskan dalam At-Tahrīm:6..

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا…
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…”
(QS. At-Tahrīm:6)

Sementara ibu, dengan kelembutan dan kedekatannya, memiliki posisi mulia dalam membentuk kepribadian anak. Rasulullah Saw bersabda:

«أُمُّكَ، ثُمَّ أُمُّكَ، ثُمَّ أُمُّكَ، ثُمَّ أَبُوكَ»
“Ibumu, lalu ibumu, lalu ibumu, kemudian ayahmu.”(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menunjukkan betapa besar peran perempuan (ibu) dalam pendidikan awal anak.

Kesimpulan

Ketika anak tampak patuh di depan tetapi berbeda di belakang, itu bukan berarti kegagalan orang tua dalam mendidik mereka. Akan tetapi hal tersebut merupakan hasil interaksi antara pemahaman, kesadaran, pembiasaan, penjagaan, dan teladan—yang berbenturan dengan derasnya arus kapitalisme sekuler.

Sesungguhnya kepatuhan yang sejati lahir dari; pemahaman yang benar, kesadaran yang tertanam kokoh, pembiasaan yang konsisten, lingkungan yang terjaga, dan adanya teladan yang hidup.

Dalam Islam, pembentukan generasi adalah tanggung jawab bersama, antara orang tua, masyarakat, dan negara. Meski hari ini negara belum menjalankan fungsi tersebut, keluarga tetap bisa menjadi benteng nilai-nilai Islam. Dengan hikmah, keteladanan, dan doa, rumah dapat menjadi oase bagi anak. Tempat tumbuhnya kepatuhan yang lahir dari hati, bukan dari tekanan.

Wallahu a’lam bisshawab.

Baca Lainnya

Generasi yang Terluka

20 November 2025 - 14:04

Refleksi Pemuda: Menyala Kembali Api Perjuangan HMI Dalam Arus Zaman

29 Oktober 2025 - 09:11

Saat Rumah Tak Lagi Menjadi Tempat Pulang

29 Oktober 2025 - 09:01

BLT dan Magang Nasional, Solusi Cepat tapi Tak Tepat

24 Oktober 2025 - 06:21

Akademisi Fakfak, Marthen Pentury: Masalah Air Bersih Tak Kunjung Tuntas, Ini Trauma Kolektif Masyarakat

23 Oktober 2025 - 19:10

Trending di Opini
WhatsApp
error: