Pemerintah dinilai perlu mewaspadai ketegangan di wilayah perairan Laut China Selatan (LCS) yang meningkat akhir-akhir ini. Tidak menutup kemungkinan, terjadinya pecah konflik di LCS yang melibatkan Tiongkok dan Amerika Serikat (AS). Sama dengan Tiongkok, AS juga meningkatkan operasi militernya di perairan itu.
Menanggapi hal itu, Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI Fadli Zon mengatakan Indonesia harus tetap memegang teguh prinsip politik luar negerinya yang bebas aktif dalam menjalin komunikasi dengan kedua negara. Kendati demikian, eskalasi di LCS tidak boleh dianggap remeh.
“Menurut saya, Indonesia yang hakekat kekuatan politik untuk kepentingan nasional dan kita bebas aktif. Kita dalam posisi tidak berpihak (netral), jadi kita menunggu dengan agak sedikit pasrah dengan membentengi wilayah kita sendiri,” kata Fadli dalam diskusi bertema “Pandemi Covid-19 dan Situasi Politik Internasional” di Media Center DPR RI, Gedung Nusantara III, Senayan, Jakarta, Kamis (9/7/2020).
Politisi Partai Gerindra itu mengingatkan bahwa ancaman tradisional di LCS nyata dan pecah konflik antara kedua negara bisa terjadi kapan saja dan tak terhindarkan. Karena itu, Pemerintah perlu meningkatkan kekuatan diplomasinya, termasuk di kawasan regional.
Anggota Komisi I DPR RI itu juga menambahkan pandemi Covid-19 telah menjadikan deglobalisasi, karena semua negara melakukan pembatasan keluar dan masuk warga negaranya maupun negara asing. “Yang tadinya tidak ada lagi border, sekarang tembok-tembok itu semakin tinggi. Bahkan di level negara-negara ASEAN, tidak terjadi penerbangan. Artinya tidak ada kepercayaan,” terang Fadli.
Hal senada disampaikan Anggota Komisi I DPR RI Abdul Kadir Karding. Ia menegaskan jika target politik China pada tahun 2025 nanti posisinya sama dengan AS, dan pada 2030 siap menjadi super power menggantikan AS. “Karena China sangat agresif, maka AS pun ikut agresif di laut China Selatan,” kata Karding.
Karena itu, sebagai negara yang berada di posisi netral, karena tidak memihak ke China maupun AS, Indonesia sebaiknya memainkan kekuatan diplomasinya dibanding kekuatan militernya. “Untuk itu, demi menjaga stabilitas politik dan keamanan nasional, kita harus memiliki kekuatan diplomasi yanh handal. Hanya dengan itu,” kata politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini.
Sebelumnya, Wakil Ketua DPD RI Nono Sampono dalam paparannya berharap semua pihak khususnya Pemerintah mewaspadai ancaman di LCS, antara AS dan China. Dimana kedua negara sudah menempatkan kapal induknya untuk menghadapi kemungkinan perang fisik tersebut.
“Indonesia harus mulai memperkuat lautnya sebagai poros maritim. Syaratnya adalah pertama, tak ada perang dan konflik di kawasan ASEAN, kelancaran arus logistik dan semua lewat Indonesia, dan ketiga memperkuat maritim. Sehingga akan memperkuat ekonomi berbasis maritim dan militer laut,” ucap Mantan Komandan Korps Marinir TNI Al ini.
Nono menyampaikan, sikap waspada ini penting, karena Indonesia memiliki posisi yang sangat strategis. Baik secara ekonomi, politik, dan sumber daya alam yang melimpah (Geo Politik, Geo Ekonomi dan Geo Strategi). Sehingga China dan Amerika Serikat sama – sama memiliki kepentingan yang besar pada Indonesia. (ann/sf)