Oleh : Zainal Abidin Bay
Pengamat Sosial Politik
Dibutuhkan daya kreativitas untuk memahami dan menangkap nilai dan norma yang hidup dalam kearifan lokal untuk dijadikan nilai bersama dalam tatanan demokrasi.
Demokrasi
Dalam perjalanan demokrasi, kita mengenal istilah demokrasi prosedural, yang mengesankan pada sifat yang prosedural dari demokrasi itu. Makna ini lebih cenderung dipahami secara negatif, karena demokrasi yang disepakati sebagai mekanisme “mengurus” bangsa ini, hanya ditekankan pada sifat proseduralnya, dan menjauh dari sifat esensialnya.
Pengertian demokrasi prosedural ala Joseph Schumpeter (2003) tidak bisa terlepas dari kritiknya terhadap para teoritisi demokrasi di era sebelumnya. Ia berangkat dari argumen tajam terhadap konsep semacam “will of all”, “common good” yang menjadi pijakan para ilmuwan politik klasik (era Yunani Klasik seperti Plato dan Aritoteles hingga abad pencerahan seperti John Locke dan J.J. Rousseau) dalam mendefinisikan demokrasi.
Joseph Schumpeter mengatakan, “the democratic method is that institutional arrangement for arriving at political decisions in which individuals acquire the power to decide by means of a competitive struggle for the people’s vote” ( Metode demokrasi adalah bagaimana tatanan kelembagaan agar mencapai keputusan politik dimana individu-individu memiliki kekuatan untuk membuat keputusan melalui perjuangan kompetisi dalam memperoleh suara rakyat).
Secara umum demokrasi dapat diartikan sebagai bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan atau demokrasi perwakilan (Munib, 2012).
Dalam perkembangannya, demokrasi dimaknai secara lebih luas. Dengan kata lain, istilah demokrasi mengalami perkembangan makna sesuai ruang dan waktu yang melingkupinya. Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, kita mengenal istilah “demokrasi terpimpin”, dan “demokrasi Pancasila”.
Demokrasi prosedural kemudian menjadi istilah lain yang berakar dari pengalaman empirik yang terjadi. Karena secara faktual, makna demokrasi sering hanya menjadi alat kepentingan kelompok-kelompok tertentu yang saling berebut makna demokrasi untuk tujuan kepentingan kelompoknya.
Kearifan Lokal (Local Wisdom)
Indonesia umumnya dan Papua Barat (Fakfak) khususnya, juga memiliki kekayaan kearifan (wisdom) yang dapat menjadi basis bagi tegaknya demokrasi. Berbagai kearifan lokal (local wisdom) dapat menjadi akar nilai, dan norma dalam berdemokrasi.
Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pengertian kearifan lokal adalah: ”jawaban kreatif terhadap situasi geografis-politis, historis, dan situasional yang bersifat lokal yang mengandung sikap, pandangan, dan kemampuan suatu masyarakat di dalam mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya”.
Lantas bagaimana mendefenisikan kearifan lokal yang bersifat implementatif terhadap demokrasi. Tentu bukan merupakan suatu hal yang mudah, karena sifatnya yang sektoral dan mengelompok pada kelompok-kelompok kecil dalam masyarakat.
Namun setidaknya telaah para sarjana menyangkut kearifan lokal, khususnya yang berkaitan dengan demokrasi, layak untuk disimak. Pengertian kearifan lokal adalah suatu bentuk pengetahuan asli dalam masyarakat yang berasal dari nilai luhur budaya masyarakat setempat untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat atau kearifan lokal (Sibarani 2012)
Seperti kebanyakan kearifan lokal yang tersebar di berbagai etnis yang ada, diekspresikan ke dalam bentuk produk budaya. Kearifan lokal dapat ditemui dalam tarian, nyanyian, pepatah, petuah, atau pun semboyan kuno yang melekat pada keseharian. Kearifan lokal acap dikenal sebagai pengetahuan setempat (indigenous or local knowledge) atau kecerdasan setempat (local genius) yang menjadi dasar identitas kebudayaan (Nasruddin, 2011).
Papua Barat ( Kabupaten Fakfak), banyak sekali local wisdom yang berasal dari berbagai sub etnik yang ada. Kearifan lokal ini telah teruji sejak lama, dapat membawa kehidupan sosial yang lebih merekat erat demi tujuan kehidupan sosial bersama. Antara lain :
Kearifan Lokal Suku Mbaham-Matta yang Berperan dalam Konservasi
Sasi laut
Budaya sasi laut merupakan budaya yang diturunkan oleh nenek moyang untuk mengatur hasil panen laut. Pengaturan tersebut berupa pembagian wilayah tangkap pada periode waktu yang berbeda. Biasanya terbagi menjadi beberapa wilayah tangkap, yang tiap wilayah tangkap tersebut hanya boleh diakses pada waktu tertentu. Ada juga pengaturan berdasarkan jenis hasil tangkap pada periode waktu yang berbeda. Pada suku Kokoda, kedua jenis budaya sasi laut tersebut masih dijalankan. Karena masyarakat lokal percaya jika mereka menjalankan sasi laut, hasil tangkapan laut mereka akan semakin banyak dan dapat di nikmati oleh seluruh masyarakat daerah tersebut.
Apotik Hidup
Terdapat kearifan lokal yang sangat penting bagi kelestarian tumbuhan obat, yakni apotik hidup. Pada bagian tengah Kampung Ugar, terdapat area sekitar 25 m2 yang disebut sebagai apotik hidup oleh masyarakat lokal. Meskipun sebagian besar tanaman yang dimanfaatkan untuk obat berasal dari hutan, namun ada juga beberapa tumbuhan yang dibudidayakan di apotik hidup. Tumbuhan yang ditanam di apotik hidup sebagian besar adalah tanaman yang dimanfaatkan bagian akar, rhizoma, batang, atau yang seluruh bagian tumbuhannya digunakan untuk obat.
Satu Tungku Tiga Batu, Pedoman Hidup Masyarakat Fakfak
Suku Mbaham Matta Wuh memasak menggunakan tungku, disangga tiga batu besar berukuran sama dalam pola melingkar. Tungku menjadi simbol kehidupan. Sedangkan tiga batu dimaknai sebagai relasi antara “kau”, “saya”, dan “dia”. Dalam Buku Jati Diri Perempuan Asli Fakfak yang ditulis Ina Samosir Lefaan dan Heppy Leunard Lelapary menjelaskan, filosofi satu tungku tiga batu adalah pengejawantahan dari filsafat hidup etnis Mbaham Matta Wuh yang disebut Ko, on, kno mi mbi du Qpona yang artinya adalah kau, saya dengan dia bersaudara.
Perlu Kreativitas
Produk budaya lokal di atas merupakan ekspresi dari kearifan lokal, suatu grand design kehidupan sosial masyarakat Fakfak secara turun temurun. Ada nilai-nilai, dan norma adat yang terkandung di dalamnya. Penggalian nilai-nilai, dan norma tersebut perlu dilakukan sehingga implementatif dengan proses demokrasi. Untuk itu diperlukan kreativitas dalam rangka menangkap nilai dan norma dalam kearifan lokal tersebut untuk menjadi nilai bersama dalam tatanan demokrasi ( yang diterima oleh semua pihak).
Sebagai daerah yang memiliki budaya, tradisi, dan nilai-nilai luhur yang beragam, hendaknya demokrasi yang kita kembangkan patut melihat latar belakang budaya tersebut. Nilai Nilai local tersebut patut di kombinasikan dengan demokrasi ( sebagai system) dan jangan di hilangkan atau digantika dengan system baru. Perlu diingat bahwa sebuah nilai local wisdom tertanam jauh lebih lama dalam kehidupan sebuah masyarakat, suku, maupun komunitas. Tidak mudah mengganti sebuah pola pikir yang berdampak pada matinya kearifan local atas demokrasi presedural.
Maka tugas generasi selanjutnya adalah harus lebih kreatif merumuskan nilai dan norma dalam kearifan lokal untuk menjadi kesepakatan bersama. Dan demokrasi sebagai payung besarnya, akan terisi oleh nilai-nilai dan norma yang berasal dari kearfian local tersebut. Ini adalah suatu bentuk konsep membangun masyarakat ideal, karena akan lebih besar penerimaan dari semua lapisan masyarakat. Karena pada hakekatnya, demokrasi merupakan sistem yang dipilih untuk merangkul semua pihak. (**).