EMBARANMEDIA.COM, FAKFAK – Puluhan calon peserta seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Tahap II juga tenaga honorer di Kabupaten Fakfak, Papua Barat, mendatangi Kantor Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM), Rabu (9/7/2025).
Kehadiran mereka untuk melakukan audiensi sekaligus mempertanyakan sejumlah persoalan terkait seleksi PPPK tahap II formasi tahun 2024, mulai dari pembagian kuota hingga kejanggalan dalam sistem pendaftaran SSCASN.
Pantauan Embaranmedia.com, massa mulai berkumpul di pelataran Kantor Bupati Fakfak sekitar pukul 12.00 WIT. Mereka menunggu kehadiran Kepala BKPSDM Fakfak, Achmad Pelu, dan Sekretaris Daerah (Sekda) Fakfak, Sulaeman Uswanas. Setelah menunggu beberapa jam, para perwakilan peserta akhirnya diterima dan dipersilakan naik ke lantai III untuk berdialog langsung dengan pimpinan BKPSDM.
Dalam pertemuan tersebut, perwakilan peserta, Aksa Muslimin, menyampaikan sejumlah tuntutan, terutama soal kejelasan jumlah kuota PPPK tahun 2024 yang disebut berjumlah 850 formasi. Mereka mempertanyakan teknis pembagian kuota antara seleksi tahap I dan tahap II.
“Kami ingin tahu, berapa kuota yang dibagi untuk masing-masing tahap? Atau apakah formasi ini digabung untuk dua tahap sekaligus? Ini yang kami butuh penjelasan teknis dari BKPSDM,” ujar Aksa di hadapan pejabat terkait.
Tak hanya soal kuota, Aksa juga menyoroti sistem pendaftaran melalui portal SSCASN yang dinilai membingungkan. Ia mencontohkan kasus saat seleksi tahap II dibuka, sistem masih menampilkan formasi tersedia. Namun saat hasil seleksi diumumkan, muncul pemberitahuan bahwa formasi tersebut sebenarnya tidak tersedia.
“Kalau memang kuota sudah terisi di tahap I, sistem seharusnya secara otomatis menolak pendaftaran di tahap II. Tapi ini tidak, justru masih bisa mendaftar dan input berhasil. Lalu setelah hasil keluar, tiba-tiba dinyatakan formasinya tidak tersedia,” jelas Aksa.
Ia juga mengungkapkan kekhawatiran terkait data ganda dalam sistem. Menurutnya, ada peserta yang telah dinyatakan lulus pada tahap I, namun namanya kembali muncul pada tahap II, meskipun menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang sama.
“Seharusnya sistem SSCASN bisa mendeteksi ini. NIK itu unik, tidak boleh digunakan dua kali. Tapi faktanya, ada yang muncul dua kali,” bebernya.
Lebih jauh, Aksa juga menyinggung implikasi dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara. Ia menjelaskan bahwa dalam UU tersebut, peserta yang tidak lolos seleksi akan otomatis masuk skema PPPK paruh waktu dan tidak bisa lagi ikut seleksi tahap berikutnya hingga formasi baru dibuka.
“Jadi kalau gagal di tahap I, dia otomatis masuk paruh waktu. Maka tidak bisa lagi ikut tahap II, karena aturan bilang, formasi selanjutnya hanya bisa dibuka setelah seluruh tahapan formasi 2024 selesai,” jelasnya.
Terkait status honorer dalam database, Aksa menegaskan bahwa Undang-Undang tidak menyebutkan secara eksplisit adanya prioritas antara honorer yang masuk database dan yang tidak.
“UU itu bicara soal hasil, bukan status database. Banyak teman-teman yang tidak masuk database tapi sudah kerja lebih dari dua tahun, bahkan punya SK. Ini harusnya cukup sebagai syarat ikut seleksi,” tegasnya.
Menurut Aksa, semua honorer yang memenuhi masa kerja dua tahun dan dibuktikan dengan SK, seharusnya mendapat hak yang sama tanpa diskriminasi.
“Ini hanya soal status. Kalau syaratnya terpenuhi, maka tidak ada alasan untuk membedakan mereka,”pungkasnya.
Jurnalis: AZT || Editor: Redaksi Embaranmedia