EMBARANMEDIA.COM, FAKFAK – Salah satu akademisi di Kabupaten Fakfak, Marthen Anton Pentury, SE., M.Sc, kembali menyoroti persoalan air bersih yang hingga kini tak kunjung diselesaikan oleh pemerintah daerah.
Sebagai warga Fakfak, Marthen mengaku trauma setiap kali berbicara tentang pengelolaan air bersih. Menurutnya, pelayanan air bersih di Fakfak masih jauh dari harapan masyarakat.
“Selama saya tinggal di Fakfak, baik ketika masih di kota maupun sekarang di Kapaurtutin, masalah air bersih ini tidak pernah tuntas. Kualitas air buruk, distribusi semrawut, bahkan ada wilayah yang sama sekali tidak pernah dialiri air bersih,” ungkap Marthen kepada Embaranmedia.com, Kamis (23/10/2025).
Marthen menuturkan, selama hampir 29 tahun tinggal di Fakfak, ia tidak melihat adanya kebijakan nyata dari Pemerintah Daerah terkait pengelolaan air bersih. Padahal, kata dia, sudah ada landasan hukum yang jelas, seperti:
-
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019,
-
Peraturan Pemerintah Nomor 122 Tahun 2015, dan
-
Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2024,
yang secara tegas mengatur tanggung jawab pemerintah terhadap penyediaan air bersih bagi masyarakat.
“Dalam tiga aturan itu jelas disebutkan bahwa penyediaan air bersih adalah tanggung jawab pemerintah baik pusat, provinsi, maupun kabupaten. Jadi tidak ada alasan bagi Pemerintah Daerah Fakfak untuk tidak serius menanganinya,” tegasnya.
Lebih lanjut, Marthen menyoroti pentingnya membedakan antara air bersih dan air minum. Menurutnya, Fakfak saat ini bahkan belum sampai pada tahap penyediaan air minum yang layak.
“Kita baru bicara air bersih, belum air minum. Sampai hari ini belum ada satu pun instansi, baik pemerintah maupun swasta, yang mampu menyediakan air minum langsung bagi masyarakat Fakfak,” ujarnya.
Marthen juga menilai, janji-janji politik soal air bersih yang disampaikan para calon kepala daerah selama kampanye hanyalah slogan kosong.
“Dari bupati ke bupati, janji penyediaan air bersih selalu diulang. Tapi realisasinya tidak pernah merata, bahkan cenderung politis. Daerah yang mendapat aliran air biasanya hanya wilayah yang dianggap sebagai basis dukungan politik,” jelasnya.
Akademisi dari STIA Asy-Syafi’iyah Fakfak itu juga berbagi pengalaman pribadi mengenai amburadulnya sistem pengelolaan air di daerahnya.
Ia menceritakan, sejak tahun 2001 hingga kini, jaringan pipa di Kapaurtutin tidak pernah berfungsi sebagaimana mestinya.
“Pipa sudah dipasang, air hanya mengalir sekali lalu mati sampai sekarang. Bahkan beberapa kali dibangun proyek baru, hasilnya tetap sama air tidak pernah mengalir,” tutur Marthen.
Selain persoalan teknis, ia menilai ada juga masalah moral dan lemahnya pengawasan. Ia bahkan pernah melaporkan kasus pencurian pipa besi milik PDAM oleh oknum masyarakat, namun tidak ada tindak lanjut berarti.
“Saya sudah lapor ke Direktur PDAM waktu itu, bahkan menunjukkan bukti video. Tapi sampai sekarang tidak ada hasil. Ini membuktikan lemahnya sistem pengawasan,” katanya.
Trauma lain yang disampaikan Marthen adalah tumpang tindih kewenangan antara Dinas PUPR2KP dan PDAM.
“Masyarakat bingung, Dinas PUPR2KP bilang tanggung jawab PDAM, PDAM bilang urusan Dinas PUPR2KP. Akibatnya, proyek perpipaan berjalan tapi air tak kunjung mengalir. Kadang malah dijadikan ajang proyek kepentingan tertentu,” tegasnya.
Lebih jauh, Marthen menilai hingga kini Pemerintah Daerah Fakfak belum memiliki dokumen kebijakan pengelolaan sumber daya air yang jelas.
“Kalau bicara aturan, pemerintah daerah wajib punya dokumen perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan pengawasan pengelolaan air bersih. Tapi kenyataannya, semua berjalan tanpa arah yang jelas,” ujarnya.
Sebagai penutup, Marthen berharap pemerintah daerah tidak lagi menjadikan isu air bersih sebagai jargon politik semata.
“Ini adalah kewajiban konstitusional pemerintah. Jangan berlindung di balik alasan efisiensi anggaran untuk mengabaikan hak dasar masyarakat. Air bersih adalah urusan wajib daerah dan seharusnya menjadi prioritas utama,” pungkasnya.
Jurnalis: Emby || Editor: Redaksi Embaranmedia