Menu

Mode Gelap
Ojek Online Siap Dukung Polres Fakfak dalam Menjaga Kamtibmas di Jalan Raya Pamapta Polres Fakfak, Wujud Kehadiran Polri yang Melayani dengan Hati BLT dan Magang Nasional, Solusi Cepat tapi Tak Tepat Bupati Fakfak Gandeng UGM, Buka Jalan Anak Daerah Raih Pendidikan Unggul Akademisi Fakfak, Marthen Pentury: Masalah Air Bersih Tak Kunjung Tuntas, Ini Trauma Kolektif Masyarakat Pemkab Fakfak dan UGM Tandatangani MoU Perkuat Pendidikan dan Kesehatan Gratis

Opini

BLT dan Magang Nasional, Solusi Cepat tapi Tak Tepat

badge-check


					BLT dan Magang Nasional, Solusi Cepat tapi Tak Tepat Perbesar

Oleh: Rahmiani Tiflen, S.Kep
Aktivis Muslimah

EMBARANMEDIA.COM – Penguasa kembali meluncurkan kebijakan “cepat tanggap” guna menjawab persoalan kemiskinan dan pengangguran. Dua di antaranya adalah Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan program Magang Nasional. Kedua program ini diklaim sebagai langkah strategis pemerintah dalam memulihkan ekonomi rakyat sekaligus membuka peluang kerja. Namun, di balik semangat populis tersebut, muncul sebuah pertanyaan, apakah program-program ini benar-benar menyelesaikan masalah, atau sekadar solusi cepat yang tak menyentuh akar persoalan ekonomi bangsa?

Kebijakan Populis di Tengah Ketimpangan Ekonomi

Pada pertengahan Oktober 2025, Menko Perekonomian mengumumkan stimulus ekonomi sebesar Rp, 30 triliun yang akan disalurkan sebagai BLT kepada 35 juta keluarga penerima manfaat (KPM) selama Oktober hingga Desember 2025, (AntaraNews, 22/10/2025).

Langkah ini diiringi peluncuran program Magang Nasional oleh Kementerian Ketenagakerjaan, yang menargetkan 100 ribu fresh graduate bekerja di 451 perusahaan selama dua bulan, Oktober–November 2025, (Kemnaker, 15/10/2025).

Kedua program tersebut merupakan bagian dari agenda “Quick Wins”, yaitu strategi pemerintahan untuk menunjukkan hasil cepat di awal masa jabatan dengan tujuan meningkatkan kepercayaan publik dan mempercepat pertumbuhan ekonomi, (CNN Indonesia, 22/10/2024).

Namun, di tengah angka kemiskinan yang masih tinggi dan kesenjangan sosial yang makin melebar, kebijakan semacam ini justru menegaskan bahwa arah pembangunan ekonomi nasional masih berpijak pada paradigma lama, yang mengandalkan stimulus dan proyek jangka pendek tanpa adanya reformasi mendasar.

Stimulus Cepat, Tapi Tidak Menyentuh Akar Masalah

Secara kasat mata, BLT dan program magang memang terlihat solutif. BLT memberikan bantuan langsung kepada masyarakat miskin, sementara magang nasional menjanjikan pengalaman kerja bagi lulusan baru. Tetapi jika ditelusuri secara mendalam, keduanya hanya bersifat reaktif dan pragmatis, sama sekali tidak menyentuh akar masalah utama yaitu kemiskinan dan pengangguran.

Masalah pertama terletak pada struktur ekonomi yang timpang. Di mana, sumber daya alam yang sejatinya milik rakyat justru dikuasai segelintir korporasi. Sementara negara hanya menjadi “pengawas” yang membagikan bantuan hasil dari utang atau pajak, alih-alih mengelola kekayaan alam untuk kepentingan publik. Dalam kondisi seperti ini, BLT tidak lebih dari “panasea” bagi penderitaan sistemik yang tak kunjung reda.

Sementara itu, program magang nasional juga tidak menyentuh akar persoalan pengangguran. Masalah utamanya bukan terletak pada minimnya keterampilan semata, tetapi sistem ekonomi yang bergantung pada investasi asing dan industri padat modal. Akibatnya, lapangan kerja justru semakin sempit. Ketika magang selesai, para peserta kembali pada realitas, tak ada jaminan pekerjaan tetap, apalagi peningkatan kesejahteraan.

Kebijakan “quick wins” seperti ini akhirnya menjadi simbol pencitraan politik. Pemerintah terlihat bekerja, rakyat merasa dibantu, namun sistem yang menindas tetap dibiarkan berdiri. Solusi cepat memang tampak manis, tapi sesungguhnya menunda penyelesaian masalah secara hakiki.

Paradigma Kapitalisme yang Praktis Tapi Parsial

Polanya senantiasa sama, di mana setiap kali ekonomi rakyat terpuruk, pemerintah hadir bersama stimulus atau bantuan tunai. Ini mencerminkan cara berpikir ekonomi kapitalisme-sekuler, yang memandang kesejahteraan hanya dari aspek angka pertumbuhan, bukan berdasarkan pemerataan distribusi.

Dalam sistem ini, negara tidak berkewajiban langsung menjamin kebutuhan pokok rakyat. Cukup menjadi regulator yang memfasilitasi mekanisme pasar, sementara rakyat dibiarkan bersaing sendiri di tengah ketimpangan ekonomi. Alhasil, bantuan seperti BLT hanya bersifat karitatif, seperti memberi ikan, bukan mengajarkan cara memancing. Sedangkan akar masalah seperti monopoli SDA dan ketergantungan pada modal asing tetap utuh tak tersentuh.

Prinsip “asas manfaat” yang diusung pemerintah pun sesungguhnya hanyalah nilai utilitarian khas kapitalisme, yang menilai kebijakan dari keuntungan jangka pendek, bukan keadilan sosial jangka panjang. Akibatnya, rakyat digiring untuk berpuas diri dengan hasil yang instan, bukan perubahan sistemik.

Solusi Menyeluruh dan Berkeadilan

Berbeda dengan kapitalisme, Islam memandang kesejahteraan sebagai tanggung jawab langsung negara terhadap rakyat. Negara dalam pandangan Islam bukan sekadar regulator, melainkan pelayan (ra’in) yang wajib memenuhi kebutuhan dasar tiap-tiap individu. Rasulullah Saw bersabda:

“Imam (khalifah) adalah pengurus (ra’in), dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.”(HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dalam sistem Islam, politik ekonomi dibangun atas asas pelayanan, bukan keuntungan. Negara memastikan setiap warganya memperoleh akses terhadap kebutuhan pokok seperti, sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Bukan melalui bantuan sesaat, tetapi sistem yang menjamin distribusi kekayaan secara adil.

Sementara dalam sistem ekonomi Islam, sumber-sumber kekayaan alam dikategorikan sebagai milik umum yang tidak boleh diprivatisasi. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Kaum Muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api (energi).”(HR. Abu Dawud dan Ahmad)

Berdasarkan prinsip ini, negara memiliki sumber pendapatan besar tanpa harus bergantung pada pajak rakyat atau utang luar negeri. Sementara hasil pengelolaan harta milik umum digunakan sepenuhnya untuk kemaslahatan rakyat — termasuk menciptakan lapangan kerja, menyediakan layanan publik gratis, dan menegakkan sistem jaminan sosial yang berkelanjutan.

Penutup

Krisis kemiskinan dan pengangguran yang terus berulang membuktikan bahwa akar masalah bangsa ini bukan pada minimnya program, melainkan pada paradigma ekonomi yang keliru. Selama kebijakan masih berlandaskan kapitalisme-sekuler, maka setiap solusi hanya akan menjadi “solusi cepat tapi tak tepat.”

Negeri ini membutuhkan paradigma baru, yaitu sebuah sistem yang tidak hanya memberi bantuan, tetapi menata ulang hubungan antara negara, rakyat, dan sumber daya ekonomi berdasarkan keadilan dan amanah. Di mana kesejahteraan diwujudkan sebagai amanah, bukan sekadar proyek politik.

Hanya dengan sistem sahih itu, rakyat tidak lagi bergantung pada bantuan sesaat, melainkan hidup dalam kesejahteraan yang hakiki. Sejahtera sebab sistemnya benar, bukan karena programnya banyak.

Wallahu ‘alam bissawab.

Baca Lainnya

Akademisi Fakfak, Marthen Pentury: Masalah Air Bersih Tak Kunjung Tuntas, Ini Trauma Kolektif Masyarakat

23 Oktober 2025 - 19:10

Hakikat Berpikir dalam Pandangan 3 Ideologi

21 Oktober 2025 - 08:54

Dr. Ronald Helweldery Tegaskan Pentingnya Jalur Laut ke Barat untuk Majukan Fakfak

21 Oktober 2025 - 06:59

Cermin Buram Sistem Ekonomi Sekuler Kapitalisme

21 Oktober 2025 - 06:20

Akademisi: Sukses Ekspor Pala Harus Sejalan dengan Kesejahteraan Petani Fakfak

3 Oktober 2025 - 04:46

Trending di Opini
WhatsApp
error: