Oleh : Fachtia Bauw Uswanas
EMBARANMEDIA.COM – Perceraian masih menjadi isu sosial diIndonesia bahkan tidak jarang berita perceraian menjadi konten viral disosial media dengan berbagai macam latar belakang penyebabnya. Baru-baru ini Pengadilan agama kabupaten Fakfak, membeberkan angka perceraian yang terjadi sepanjang tahun 2025 sekitar 70 perkara (Embaran Media, 28/11/2025). Angka ini melonjak dari tahun sebelumnya yaitu sebanyak 45 perkara perceraian (Tribun Papua Barat, 1/10/2024). Berbanding terbalik dengan angka perceraian yang meningkat, angka pernikahan justru menurun dari waktu kewaktu, tercatat tahun 2025 hingga awal desember KUA kabupaten Fakfak mencatat ada 124 peristiwa pernikahan, dan ini menurun dari tahun 2023 yaitu 262 pernikahan. Jika di perhatikan ada krisis nilai pernikahan ditengah masyarakat yaitu dengan munculnya fenomena meningkatnya perceraian yang mengakibatkan turunnya angka pernikahan karena bayangan tentang pernikahan adalah sesuatu yang menakutkan (Marriage is scary).
Penyebab Rapuhnya Pernikahan
Rapuhnya pernikahan hari ini tidak lepas dari pandangan sekulerisme yaitu pemisahan agama dari kehidupan yang mengikis nilai-nilai pernikahan. Pernikahan yang digambarkan oleh Allah sebagai Mitsaqon Ghalidzah (Perjanjian yang Agung) sudah tidak lagi bernilai karena agama tidak dijadikan landasan dalam menjalani pernikahan.
Tujuan menikah dalam pandangan sekularisme adalah mendapatkan kesenangan jasmani dan bisa menghadirkan manfaat bagi masing-masing pihak. Dari manfaat pemenuhan kebutuhan individu (emosional, rasa aman, dll), juga manfaat stabilitas ekonomi, dan lain sebagainya. Akhirnya pernikahan hanya sebagai kontrak sosial dua individu yang harus saling menguntungkan yang jika kepentingan atau manfaat itu hilang maka pernikahan itu sudah tidak lagi berarti. Hubungan pernikahan yang dibangun adalah hubungan transaksional (untung-rugi) yang jelas rapuh landasannya.
Tak hanya itu, peran suami istri dalam sistem kapitalisme sekuler juga tidak jelas, orang-orang dalam pernikahan dianggap sebagai dua individu yang independen, yang memiliki hak dan kepentingan masing-masing yang harus terpenuhi akhirnya satu sama lain saling menuntut untuk memenuhi kepentingan pribadinya masing-masing. Selain itu, peran anggota keluarga dalam sistem kapitalisme seringnya ditentukan oleh nilai atau kontribusi ekonomi, penghasilan jadi salah satu yang menentukan peran siapa yang lebih dominan, bahkan tidak jarang pembagian peran bersifat negosiasi , tidak ada pembagian peran yang jelas sesuai dengan fitrah manusia, inilah yang sering menyebabkan konflik berkepanjangan yang bisa menyebabkan perceraian.
Pernikahan dalam Pandangan Islam
Pernikahan dalam pandangan islam dianggap sebagai Mitsaqan Ghalizon atau perjanjian yang kuat, Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Syuyuti dalam Tafsir jalalain menyebut mitsaq sebagai bentuk taukid, artinya menekanan atau penegasan dari sebuah janji. Janji adalah komitmen, lebih dari sekedar janji. Sedangkan lafal Ghalizon berasal dari kata ghilzh yang artinya kuat, berat, tegas, kokoh. Pernikahan dianggap sebagai perjanjian dengan Allah maka dalam islam pernikahan bukan hanya kontrak sosial antara dua manusia namun perjanjian dengan Allah yang belandaskan dengan niat ibadah kepada Allah.
Tujuan menikah dalam islam digambarkan dalam Q.S Ar-rum : 21
وَمِنْ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَٰجًا لِّتَسْكُنُوٓا۟ إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَءَايَٰتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”
Dalam surat Ar-rum ayat 21 di gambarkan bahwa tujuan menikah adalah untuk mendapatkan sakinah atau ketentraman, mawaddah wa rahmah yaitu kasih dan sayang, yang tujuan ini bisa tercapai jika masing-masing anggota keluarganya melakukan perannya masing-masing dan memenuhi hak-hak pasangan.
Dalam Islam peran suami adalah sebagai qawwam seperti dalam Q.S An nisa : 34
ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita”
Ibnu Katsir menjelaskan makna Qawwam adalah sebagai pemimpin, pengatur, pelindung dan penanggung jawab keluarga karena Allah memberikan kelebihan tertentu kepada laki-laki serta mereka telah menafkahkan sebagian harta mereka. Kepemimpinan yang dimaksud bukan karena superioritas, tetapi tanggung jawab dan kewajiban dihadapan Allah.
Peran wanita dalam islam adalah sebagai Ummu wa robbatul bayt yakni ibu dan pengelola rumah tangga berdasarkan pada HR Bukhari “Seorang perempuan memimpin rumah suaminya dan anak-anaknya. Ia akan ditanya tentang kepemimpinan”. Makna Ummu bukan sekedar melahirkan tapi pendidik pertama dan utama anak, membentuk aqidah dan kepribadian anak sesuai dengan syariat islam. Sedangkan Robbatul bayt adalah pengelola rumah tangga yang bertugas mengurus urusan rumah, mengurus kebutuhan keluarga, menjaga harta suami dan juga menjaga suasana rumah agar terasa sakinah. Robbatul bayt bukan pembantu melainkan manajer rumah tangga sekaligus penjaga stabilitas keluarga. Islam tidak merendahkan peran ini, bahkan ini adalah peran strategis bagi perempuan untuk menciptakan keluarga yang harmonis.
Peran ini dilakukan oleh setiap anggota keluarga dengan niat beribadah kepada Allah bukan untuk medapatkan manfaat atau kesenangan semata. Peran ini bukan relasi kompetisi melainkan pembagian untuk saling melengkapi satu sama lain.
Kehidupan pernikahan akan memberikan ketentraman dan kebahagiaan diantara pasangan suami istri ketika keduanya saling memenuhi kewajiban dengan menjalankan perannya dan memberikan hak pasangan, istri memenuhi hak suami, begitupun sebaliknya suami memenuhi hak-hak istri dengan cara yang ma’ruf. Adapun istri memiliki hak atas suaminya dan suami memiliki hak atas istrinya. Allah berfirman “….Dan para wanita memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf” (Q.S Al-baqarah : 288)
Dari Ibnu abbas “Hak istri adalah persahabatan dan pergaulan yang baik dari suami terhadapnya setimbang dengan kewajiban istri berupa ketaatan kepada suaminya yang diwajibkan atasnya”. Islam mewajibkan suami dan istri agar keduanya menjaga pergaulan dan hubungannya dengan baik agar tercipta mawaddah dan rahmah diantara keduanya.
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ ٱلْقُرَىٰٓ ءَامَنُوا۟ وَٱتَّقَوْا۟ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَٰتٍ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ
“Jikalau sekiranya penduduk negeri- beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi” (Q.S Al- a’raf: 96)
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa jika kita beriman kepada Allah dan Rasul serta bertaqwa yaitu menjalankan perintah Allah dan menjauhi laranganNya, maka Allah akan melimpahkan keberkahan yaitu berupa pintu-pintu kebaikan dari segala penjuru, rezeki, rasa aman, ketentraman, dan kesejahteraan lahir dan batin.
Inilah gambaran pernikahan dalam islam yang didambakan oleh setiap keluarga muslim. Realitas menunjukkan bahwa institusi keluarga yang tegak atas dasar syariat islam benar-benar mampu menciptakan ketenangan, ketentraman, keadilan dan rasa aman. Suami istri hidup berdampingan, menunaikan kewajiban masing-masing dan memenuhi ha-hak pasangan, memposisikan perannya dalam keluarga sesuai tuntunan syariat dan menjalankan pergaulan yang makruf dengan pasangannya. Hubungan suami istri ini layaknya dua orang sahabat sejati yang selalu berbagi suka dan duka sesuai tuntunan hukum syara’. Wallahu a’lam bi showwab.







