Oleh : Ismail Weripang, S.IP
EMBARANMEDIA.COM – Dalam setiap percikan api konflik di Timur Tengah, nama Amerika Serikat nyaris tak pernah absen. Di balik layar serangan udara, sabotase, dan perang proksi antara Israel dan Iran, ada tangan Amerika yang bermain sebagai sponsor utama dominasi militer dan politik satu pihak atas pihak lain. Konflik Israel vs Iran bukan hanya pertarungan dua negara, tapi lebih dari itu—sebuah permainan kekuasaan global di mana nyawa manusia menjadi taruhan murah.
Israel, dalam banyak hal, bukanlah kekuatan yang benar-benar berdiri sendiri. Ia tumbuh, bertahan, dan menggenggam wilayah dengan jaminan mutlak dari Washington. Mulai dari suplai senjata, perlindungan diplomatik di PBB, hingga penggelontoran miliaran dolar tiap tahun, Israel menjadi representasi kepentingan Amerika di kawasan. Dan selama Amerika memelihara Israel sebagai “anak emas” Timur Tengah, maka perdamaian hanya akan jadi jargon kosong yang tak pernah tumbuh akar.
Iran, yang berdiri dengan identitas perlawanan terhadap hegemoni Barat, diposisikan sebagai musuh bersama. Tidak hanya oleh Israel, tapi juga oleh negara-negara Teluk yang tunduk pada kebijakan luar negeri Amerika. Siapa pun yang menentang skema global ini—entah itu melalui narasi anti-Zionis, dukungan terhadap Palestina, atau kritik terhadap sanksi ekonomi—akan segera dicap sebagai “ancaman terhadap stabilitas” dunia.
Ironisnya, stabilitas versi Amerika berarti stabil bagi bisnis senjata, stabil bagi pasar energi mereka, dan stabil bagi keberlangsungan kekuasaan negara-negara boneka di kawasan. Ketika Israel melancarkan serangan ke Suriah, Lebanon, atau bahkan wilayah dalam Iran, dunia Barat diam. Tapi ketika satu misil ditembakkan balik oleh pihak yang menolak tunduk, seluruh dunia diminta mengecam.
Amerika tak hanya gagal sebagai mediator, tapi justru aktif sebagai provokator. Mereka menjual ilusi perdamaian sambil memperpanjang napas perang. Dari invasi Irak, kehancuran Suriah, hingga isolasi Iran, semuanya dirancang dalam logika kepentingan geopolitik, bukan nilai-nilai kemanusiaan.
Dan pada akhirnya, siapa yang menanggung akibat? Bukan para jenderal, bukan para politisi. Tapi rakyat. Rakyat Palestina yang terusir, rakyat Lebanon yang kelaparan, rakyat Iran yang dibungkam sanksi, dan rakyat Israel yang hidup dalam paranoia akibat keputusan-keputusan pemimpin mereka sendiri.
Selama dunia menutup mata terhadap privilese Israel di bawah naungan Amerika, maka luka di Timur Tengah akan terus bernanah. Dunia tak butuh lebih banyak senjata. Dunia butuh kejujuran, bahwa perdamaian tak akan hadir selama ada negara yang selalu merasa berhak menghancurkan yang lain dengan restu adidaya.