EMBARANMEDIA.COM, FAKFAK – Wisata Ubadari yang dibangun sejak tahun 2017 secara swadaya oleh masyarakat setempat, telah mendapat respons positif dari Pemerintah Provinsi Papua Barat. Upaya ini kemudian dilanjutkan oleh Pemerintah Kabupaten Fakfak di era kepemimpinan Bupati Untung Tamsil. Namun, hingga kini, destinasi wisata tersebut masih membutuhkan perhatian serius untuk terus dikembangkan.
Hal itu disampaikan langsung oleh Kepala Kampung Ubadari, Rudy Iha, saat ditemui di kediamannya pada Sabtu (14/06/2025) sore.
“Sejak 2017 kami membangun Wisata Ubadari secara swadaya. Puji Tuhan, pemerintah provinsi saat itu merespons proposal kami. Kemudian, dukungan juga datang dari pemerintah kabupaten saat dipimpin Bapak Untung Tamsil,”ungkap Rudy Iha.
Meski demikian, Rudy mengakui masih ada sejumlah kendala yang kerap dikeluhkan pengunjung, terutama wisatawan dari luar daerah.
“Salah satu keluhan utama adalah soal penginapan. Banyak wisatawan yang ingin bermalam di sini, tetapi belum tersedia fasilitas memadai. Harapan kami, pemerintah daerah bisa melihat Ubadari sebagai potensi wisata yang mampu mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD),” tambahnya.
Selain penginapan, kondisi infrastruktur seperti Honai dan jembatan kayu yang mulai rusak juga menjadi sorotan. Berdasarkan penelusuran tim Embaranmedia, terlihat beberapa atap Honai yang rusak dan papan jembatan kayu yang sudah lapuk.
“Kami berharap jembatan bisa dicor agar lebih kuat, dan Honai direhabilitasi. Sejauh ini, kami masih menunggu tindak lanjut dari pemerintah, khususnya Dinas Pariwisata. Kami yakin, jika diperhatikan serius, Ubadari bisa menjadi destinasi wisata unggulan di Fakfak,” jelas Rudy.
Tak hanya itu, akses transportasi laut juga menjadi tantangan. Banyak wisatawan mengeluhkan sulitnya transportasi untuk menyusuri kawasan hutan mangrove hingga menuju Kampung Patimburak yang dikenal dengan Masjid Tuanya.
“Banyak wisatawan ingin menjelajah dari Ubadari ke Patimburak untuk melihat hutan mangrove dan Masjid Tua di sana, tapi transportasinya belum mendukung,” ungkapnya.
Untuk pengelolaan retribusi, saat ini dikelola oleh pemerintah kampung bersama masyarakat melalui pengurus yang telah dibentuk. Tarif retribusi yang dikenakan meliputi parkir kendaraan roda dua sebesar Rp10.000, roda empat Rp20.000, serta sewa Honai Rp50.000.
Meski sudah ada sistem retribusi, Rudy mengungkapkan bahwa pengunjung hanya ramai di hari libur. Di luar itu, pemasukan tidak menentu.
“Retribusi ini kami kelola sendiri. Waktu itu saya sudah bertemu Bapak Untung Tamsil saat masih menjabat sebagai Bupati Fakfak, beliau bilang, ‘Bapak kampung kelola saja, ini aset kampung’. Tapi memang, pengunjung tidak selalu ramai. Hanya di hari-hari tertentu saja,”pungkas Rudy.
Jurnalis : Ismail Weripang
Editor : Pimpinan Redaksi