Oleh : Ismail Weripang
Mahasiswa Universitas Yapis Jayapura (UNIYAP)
Fakultas Ilmu Sosial Dan Politik (Jurusan Ilmu Pemerintahan)
Embaranmedia.com, Fakfak – Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI), senin (5/10/2020) telah mengetok palu tanda di sahkan Omnibus Law RUU cipta kerja menjadi undang-undang. Pengesahan tersebut banyak mendapat penolakan dari berbagai kalangan masyarakat seperti buruh, tani, nelayan, mahasiswa dan warga net atau yang biasa di sapa netizen juga ikut menolak Omnibus law ciptaker.
Publik bertanya-tanya mengapa pemerintah dan juga DPR Terburu-buru mengesahkan UU omnibus law ciptaker tersebut. Ada apa? Mengapa terburu-buru? Padahal ada masalah yang lebih mendesak yang seharusnya di selesaikan oleh DPR dan juga Pemerintah. Masalah yang urgen dan paling penting seperti Pandemi Covid-19 yang berjalan kurang lebih Tujuh bulan dan terus bertambah angka yang positif di Indonesia justru diabaikan begitu saja.
Alhasil, dengan terus bertambahnya kasus positif covid-19 di indonesia justru menambah beban ekonomi bangsa. Dengan di sahkan undang-undan ciptaker ini justru menimbulkan berbagai gejolak masa yang turun ke jalan terutama Buruh, Tani, nelayan dan juga mahasiswa. Kemungkinan untuk memperhatikan protokol kesehatan yang telah di tetapkan oleh pemerintah justru akan di abaikan dengan aksi masa yang turun ke jalan. Disisi lain, langkah senyap DPR dan Pemerintah dalam memuluskan omnibus law Rancangan undang-undang (RUU) cipta kerja akhirnya terwujud.
Adapun poin-poin yang di anggap kontroversial dalam Undang-undang omnibus law yang menjadi sorotan publik antara lain seperti penghapusan upah minimum, jam lembur yang lebih lama, kontrak seumur hidup dan rentan PHK, pemotongan waktu istirahat serta mempermudah perekrutan TKA. Hal ini tentu sangat menguntungkan bagi pengusaha dan sebaliknya sangat merugikan bagi para buruh. Selain itu potensi konflik agraria dan/ SDA lingkungan hidup juga menjadi momok yang sangat menakutkan bagi masyarakat, terutama masyarakat adat.
Mengingat selama 5 Tahun terakhir ada sekitar 1.298 kasus kriminalisasi terhadap rakyat akibat mempertahankan hak atas tanah dan wilayah hidupnya. Misalnya perubahan undang-undang UU P3H (Pasal 82, 83 dan 84, yang ada didalam pasal 38 UU cipta kerja) soal ancaman pidana kepada orang-perorangan yang di tuduh melakukam penebangan pohon, memanfaatkan hasil hutan tanpa perizinan dari pejabat berwenang di kawasan hutan tersebut. Hal ini sungguh miris jika mau di lihat dari kacamata kita sebagai orang asli papua yang hidupnya sehari-hari bergantungan dengan alam seperti berkebun, berternak, dan juga mencari kayu bakar di hutan. Dengan di sahkan undang-undang cipta kerja ini tentu sangat mempermulus langkah korporasi untuk eksploitasi hasil alam secara besar-besaran. Tentu yang rugi bukan hanya buruh saja, Tapi kita semua yang merasa anak bangsa bagian dari NKRI sangat di Rugikan. Disisi lain omnibus law cipta kerja ini justru sangat mengungkan bagi pengusaha dan juga penguasa.
Dengan demikian, Demokrasi yang kita kenal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat hanya menjadi slogan semata. Justru sebaliknya dari penguasa, oleh penguasa dan untuk penguasa. Maka matinya sebuah sistem yang demokratis justru di lakukan oleh penguasa kita sendiri. Terutama wakil rakyat kita yang menjalin hubungan cinta segitiga antara penguasa dan kapitalis. Justru wakil rakyat kitalah yang selama ini kita percaya untuk menyambung lidah rakyat lebih memilih berselingkuh dengan penguasa dan kapitalis. Kedaulatan tertinggi di tangan rakyat justru di khianati oleh wakil kita sendiri.
Maka matinya suatu sistem yang demokratis justru di lakukan oleh Penguasa Dan DPR. Semoga saja upaya yang di lakukan oleh kaum buruh, tani, nelayan dan mahasiswa yang turun ke jalan tidak sia-sia dan dapat di dengarkan aspirasinya oleh penguasa. Rezim ini sudah seharusnya tidak bersikap bodoh amat dalam manampung setiap aspirasi yang disampaikan oleh rakyatnya agar tidak terjadi korban jiwa akibat aksi masa yang turun ke jalan. Kemungkinan Timbulnya tindakan-tindakan anarkis justru menambah daftar panjang persoalan bangsa ini. Pemerintah sudah seharusnya menjadi pendengar yang baik agar rakyat bisa percaya bahwa bangsa ini masih punya pemimpin dan juga wakilnya. Untuk mengantisipasi konflik Horizontal dan Vertikal dimasa yang akan datang tentu harus kita benahi sistem sejak dini. Terutama wakil-wakil rakyat kita yang justru saat ini berkhianat dari rakyatnya sendiri. (**)