Oleh : Rahmiani. Tiflen, Skep
(Anggota Komunitas Muslimah Peduli Generasi)
Dalam beberapa hari lagi, bangsa Indonesia akan kembali merayakan hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-78 tahun. Jika diibaratkan usia manusia, tentunya sudah tidak muda lagi, hampir mencapai satu abad lamanya. Namun sebagai negara kaya bak jambrut khatulistiwa, faktanya masih banyak rakyat Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan, lingkungan hidup yang jauh dari kata layak kesehatan, angka gizi buruk dan stunting yang tak kunjung selesai, ditambah lagi taraf pendidikan yang rendah dan tak mampu menciptakan generasi cemerlang, hukum yang kian timpang, industrialisasi kesehatan, jebakan utang dan investasi atas nama ekonomi, hingga praktik pemerintahan yang belum berjalan sebagaimana mestinya. Semuanya makin menunjukkan adanya paradoks tersendiri, dalam catatan perayaan kemerdekaan kali ini.
Benarkah Kita Sudah Merdeka?
Sayang, hingga kini rakyat Indonesia yang kaya itu layaknya anak ayam yang mati di lumbung padi. Hampir seluruh sektor kehidupan bangsa kita kini, harus bergelut dengan kenyataan hidup yang demikian sulit. Memang benar, sejak lama penjajah telah enyah dari bumi pertiwi bersamaan dengan penjajahan fisiknya, akan tetapi sampai detik ini penjajahan gaya baru (neo-imperialisme) masih menggerogoti tubuh bangsa Indonesia di hampir seluruh lini kehidupan kita. Adanya kesenjangan sosial yang menganga lebar, diperparah lagi dengan sumber-sumber kekayaan alam yang sebagian besar diprivatisasi oleh para pemilik modal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sementara itu sektor pendidikan yang diharapkan dapat menjadi wadah guna menciptakan para intelektual muda pun tak lepas dari permasalahan, diawali ramainya pergaulan bebas yang menyebabkan hilangnya jati diri pemuda hari ini akibat adanya serangan pemikiran melalui 4 F (food, fun, fashion, film), kemudian tawuran di kalangan pelajar, hingga budaya hedonisme, dan komersialisasi pendidikan yang menyebabkan biaya Pendidikan Tinggi (PT) menjadi mahal. Belum lagi dalam aspek sosial kemasyarakatan, terdapat kesenjangan antara si kaya dan si miskin yang begitu dalam, budaya pamer (flexing), ditambah lagi korupsi, kolusi, dan nepotisme yang kian menjadi gaya hidup. Di sisi lain, ada proses penegakan hukum yang tampak begitu timpang, ibarat kata ”tebang pilih”, mirip pisau yang tajam ke bawah namun tumpul ke atas.
Dalam sektor pertanian, ada para petani yang dulunya bangga dengan status kita sebagai negara swasembada pangan yang bahkan ada penghargaannya dari International Rice Research Institute (IRRI) namun pada faktanya Indonesia masih melakukan impor beras secara besar-besaran. Dengan volume impor beras 2023 sebanyak 365%, angka ini melonjak dibanding 2022 (year-on-year/yoy), sekaligus menjadi rekor tertinggi dalam lima tahun terakhir. Sementara di sisi lain harga beras terus merangkak naik di pasaran, namun sama sekali tidak mendatangkan keuntungan bagi para petani lokal. Nasib serupa pun dialami oleh para nelayan kita, dilingkupi kemiskinan, dan rendahnya tingkat pendidikan, telah menjadi pemandangan biasa bagi mereka.
Padahal laut Indonesia sangat kaya, namun dengan tingginya harga bahan bakar minyak (BBM), bahkan untuk yang bersubsidi sekalipun ada kalanya sulit ditemukan di pasaran akibat para calo dan penimbun, mengakibatkan para nelayan kesulitan melaut. Jika pun ada, hasil tangkapannya tak bisa melampaui kapal-kapal besar yang kerap mencari ikan menggunakan jaring pukat harimau, kapal-kapal yang lebih canggih dan tentunya milik para cukong bermodal besar. Hal yang entah sampai kapan bisa terurai dalam sistem hari ini.
Adapun sumber daya alam berupa minyak bumi, emas, batu bara, nikel, dls, hingga saat ini penguasaan saham terbesarnya masih terletak di tangan para pemilik modal (kapital) asing. Sejumlah perusahaan raksasa seperti Chevron Pacific Indonesia, Exxon Mobil, Shell, Freeport, dan BP, masih dan akan terus mencengkeramkan hegemoninya di nusantara. Padahal sejatinya seluruh kekayaan alam yang terkandung adalah milik rakyat, dan menjadi kewajiban negara untuk mengelolanya untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kesejahteraan bangsa. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, rakyat hanya menjadi penonton.
Pun sektor kesehatan, hukum, ekonomi, bahkan pemerintahan yang masih banyak permasalahan dan hingga kini belum terpecahkan. Di dunia kesehatan sendiri, yang dulunya dikenal sebagai health care kini beralih menjadi health industry. Untuk sistem ekonominya pun sama yaitu berbasis pada ribawi, jebakan utang dan investasi, serta pajak yang dibebankan kepada rakyat. Semuanya makin menjauhkan negeri kita dari keberkahan Allah taala.
Padahal kita ketahui bersama bahwa semua perihal di atas sangat diharamkan dalam Islam namun di sistem hari ini, justru riba dan pajak menjadi basis seluruh roda perekonomian, dan pergaulan bebas menjadi gaya hidupnya. Dalam hukum dan pemerintahan pun tak jauh berbeda, sehingga ada istilah ”elo punya duit, elo punya kuasa”. Sementara pemerintah yang diharapkan hadir sebagai pengurus segala urusan rakyat, akan tetapi justru hanya bertindak sebagai regulator saja dengan melahirkan regulasi yang berpihak pada swasta diantaranya UU Omnibus law, dan menyerahkan pengurusan rakyat pada pihak swasta. Hal ini terbukti dari banyaknya tenaga kerja asing (TKA) asal China yang datang ke Indonesia. Walhasil rakyat mau tidak mau, harus struggle mencukupi kebutuhannya sehari-hari, alih-alih mengakses lapangan pekerjaan yang kian sulit didapatkan.
Hakikat Kemerdekaan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, makna merdeka adalah bebas dari penghambaan, penjajahan dan sebagainya. Akan tetapi jika melihat dari definisi tersebut sesungguhnya Indonesia masih begitu terseok untuk mencapai kemerdekaan hakiki. Para penjajah telah pergi dari negeri kita, akan tetapi gaya penjajahan baru (neo-imperialisme) masih ada dan terus bercokol dalam tubuh bangsa. Sehingga menjadikan rakyat Indonesia bak anak ayam yang terkapar di lumbung padinya sendiri.
Kesemua fakta di atas menandakan bahwa kita belum benar-benar merdeka, justru kemerdekaan hakiki akan lahir manakala kita kembali pada hakikat diri yang sebenarnya yaitu sebagai hamba yang senantiasa tunduk patuh pada seluruh aturan Sang Pencipta, Allah Subhanahu wa taala.
Kita sulit mencapai kemerdekaan hakiki disebabkan meninggalkan aturan Sang Pencipta, dan mengubahnya dengan aturan buatan manusia (sekuler kapitalis). Padahal jika ingin mencapai keberkahan hidup, kita mesti mengikuti apa yang dimaui oleh Pencipta kita, Allah Swt. Seperti termaktub dalam Al-Qur’an surah Al-A’raf ayat 96. ”Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS Al-A’raf : 96)
Dengan demikian kemerdekaan hakiki, adalah wujud dari ketakwaan yang hakiki pula. Adapun makna takwa sebagaimana tercantum dalam QS. Al-Baqarah : 183, dan didefinisikan oleh para salafus salih adalah takut kepada Allah Swt yang Maha Agung (al Jalil), untuk senantiasa menerapkan wahyu yang diturunkan-Nya (at Tanzil), dan mempersiapkan diri terhadap hari keberangkatan/kematian (ar Rahil). Takut kepada Allah, mampu menjadikan seorang individu dekat dengan Allah dan tunduk kepada-Nya. Ia senantiasa diselimuti suasana penuh keimanan. Dengan demikian perasaan takwa tersebut akan selalu ada dalam setiap aspek kehidupannya. Sikap takwa ini akan terealisasi dalam 3 kondisi, yaitu;
1. Hubungannya dengan Allah Swt (habluminal-Allah), yang tercakup dalam ibadah-ibadah ritual seperti misal; salat, puasa, zakat, dan haji.
2. Hubungannya dengan dirinya sendiri (hablubina-nafsihi), termasuk perkara adab, tatacara makan/minum, serta berbusana yang sesuai tuntunan syariat.
3. Hubungan manusia dengan manusia lain (habluminanas), yang meliputi muamalah, pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum, politik, jihad, hingga pemerintahan.
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam pernah menuliskan surat kepada penduduk Najran, ”amma ba’du, aku menyerukan kalian untuk beribadah kepada Allah dan meninggalkan penghambaan kepada sesama manusia. Aku menyeru kalian agar, berada dalam kekuasaan Allah dan membebaskan diri dari penguasaan oleh sesama manusia.” Ya, yang dimaksud merdeka sepenuhnya adalah membebaskan diri dari menghamba kepada kepentingan manusia, dan kepentingan dunia yang dikuasai oleh pihak kuat. Merdeka sejati adalah menundukkan diri hanya kepada Allah Swt pencipta seluruh alam. Manusia merdeka adalah manusia yang tidak ingin didikte oleh manusia lain, baik fisik dan raganya, apalagi pemikiran dan kemauannya. Maka menjadi hamba Allah Swt (abdullah) merupakan sebenar-benarnya kemerdekaan.
Manusia menjadi merdeka sepenuhnya ketika ia sadar siapa dirinya, mengetahui dari mana asal, untuk apa hidup di dunia, dan akan kemana ketika mati. Dari sanalah pola pikir (aqliyah), dan pola sikapnya (nafsiyah) terbentuk menjadi seseorang yang berkepribadian Islam (syakhsiyah Islamiyyah). Sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. Al-Baqarah : 208.
Maka sudah selayaknya sebagai makhluk ciptaan Allah Swt, kiranya di momen kemerdekaan Republik Indonesia yang ke – 78 ini, kita mampu merefleksikan diri dan seluruh potensi serta tujuan hidup. Bahwa kita diciptakan oleh Allah taala untuk menjadi umat terbaik, yaitu dengan cara mengajak pada kebaikan dan mencegah dari keburukan, serta beriman kepada seluruh aturan-Nya. Artinya senantiasa tunduk patuh pada seluruh ketentuan yang datang dari-Nya tanpa memilih apakah ini cocok ataukah tidak, apakah aturan tersebut relevan atau menurut pandangan dangkal kita sudah tidak relevan lagi.
Penutup
Dengan demikian, manusia sepatutnya menyadari bahwa untuk mencapai kemerdekaan hakiki, seharusnya ia menempatkan dirinya sebagai makhluk lemah dan serba terbatas, hamba sahaya dari Allah Swt. Sehingga menjadi suatu kewajiban baginya untuk mengikuti seluruh aturan-Nya, dan jika meninggalkan atau berpaling, apalagi mengganti hukum-hukum-Nya dengan aturan buatan manusia, maka kehancuranlah yang akan terjadi, sebagaimana kehidupan hari ini. Allah Swt berfirman:
ظَهَرَ الْفَسَا دُ فِى الْبَرِّ وَا لْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّا سِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum : Ayat 41). Wallahu alam bis showab. (**)