Oleh : Rabiah Busily Uswanas, Amd.Kep
(The Voice Of Muslimah Papua Barat)
Embaranmedia.com, Fakfak – Berdasarkan laporan data pada akun Twitter @BNPB_Indonesia, Kamis (3/9/2020) sore, tercatat ada 3.622 kasus baru. Sehingga total kasus virus corona di Indonesia menjadi 184.268 orang. Papua dan Papua Barat juga ikut berkontribusi dalam penambahan kasus baru pasien covid-19. Pasien terkonfirmasi positif virus corona di Papua hari ini, Kamis (3/9/2020) bertambah 28 orang. Tercatat ada 3.901 warga terpapar virus corona di daerah tersebut. Sementara itu melansir data dari Satgas Penanganan Covid-19, jumlah pasien di Papua Barat berjumlah 861 orang. Ada penambahan 25 kasus baru di daerah tersebut.
Juru Bicara Pemerintah Provinsi Papua Barat pada Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Penanganan COVID-19 dr Arnoldus Tiniap mengemukakan bahwa kasus positif COVID-19 di daerah itu semakin meningkat setelah sejumlah aktivitas publik dibuka. “Daerah-daerah yang semula hijau kini sudah terjangkit lagi, begitu pula daerah yang semula merah dan kembali hijau kini mengalami gelombang kedua. Di sisi lain, daerah yang sudah terpapar jumlah kasusnya juga terus meningkat,” katanya di Manokwari, (antaranews.com).
Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah untuk menekan angka kasus covid baik di pusat maupun di daerah salah satunya dengan memperketat penerapan protocol kesehatan. Di Fakfak, Papua Barat sendiri Tim sosialisasi pencegahan covid-19 Kabupaten Fakfak melaksanakan giat sosialisasi masker dan juga memberikan sanksi pada masyarakat yang kedapatan tidak menggunakan masker saat beraktivitas diluar rumah hal ini sebagai upaya menyelamatkan masyarakat dari terpapar Covid-19. Hal serupa juga dikatakan oleh Juru Bicara Pemerintah Provinsi Papua Barat pada Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Penanganan COVID-19 dr. Arnoldus Tiniap. “Sekarang bukan saatnya melakukan imbauan, masyarakat harus dipaksa untuk menerapkan protokol kesehatan. Masyarakat itu, ya… kita semua, pendisipilinan harus lebih tegas demi keselamatan bersama,” (antaranews.com).
Ditengah giat Satgas Covid-19, Tim Sosialisasi pencegahan Covid-19 dan pihak-pihak lain yang berusaha menekan angka kasus covid di Fakfak, Salah satu pasangan bakal calon Bupati dan Wakil Bupati yang rencananya akan mendaftarkan diri pada 5 September 2020 ke KPU Fakfak sebagai calon Bupati dan Wakil Bupati pada pilkada serentak 9 Desember mendatang beserta tim pemenangannya akan menghibur rakyat Fakfak dengan mengundang artis dari luar Fakfak.
Pada pendaftaran di KPU Fakfak 5 September 2020 nanti, salah satu BAPASLON ini akan menghebohkan kota Fakfak ini dengan menurunkan 2 artis ternama yang namanya tidak asing di public tanah air.
Sungguh berita yang menghebohkan ditengah pandemic covid-19, bahkan sebelum dua artis ternama ini melakukan aksi diatas panggung. Sebelumnya kehebohan telah terjadi sejak wacana pelaksanaan pilkada ditengah pandemic hingga putusan penetapan penyelenggarakan pilkada serentak yang diumumkan oleh pemerintah. Hal ini menuai kritik heboh dari berbagai kalangan mengingat kondisi Indonesia yang belum juga menunjukan tanda-tanda melandainya curva covid-19.
Jika pilkada serentak dilaksanakan pada Desember 2020 maka tahapan menuju pilkada mulai berjalan sejak Juni 2020 bahkan menurut para pakar epidemiologi pada bulan Desember pun tidak ada yang bisa memastikan bahwa Indonesia benar-benar aman dari Covid-19. Sedangkan dalam pelaksanaan pilkada serentak ada tahapan-tahapan yang krusial risiko penularan virus corona antara lain, kampanye, debat publik dan debat terbuka, serta pemungutan dan penghitungan suara. Tahapan-tahapan ini berbahaya karena melibatkan orang banyak.
Sementara itu terkait peta zonasi penyebaran virus, Epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Pandu Riono mengatakan bahwa peta zonasi persebaran virus corona (Covid-19) tidak bisa dipercaya. Menurutnya, suatu zona menjadi hijau karena mengurangi kapasitas tes. Langkah itu dilakukan agar daerah yang bersangkutan bisa melaksanakanPilkada Serentak 2020 tanpa ada kekhawatiran di masyarakat. “Enggak usah dipercaya zonasi, karena tidak akurat, bukan berarti hijau aman tapi kasusnya sedikit karena enggak ada testing, kenapa enggak testing? Karena dilarang, biar hijau, karena mau ikut pilkada,” kata Pandu saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (3/9).
Respon pakar epidemiolog ini menambah deretan bukti ketidakseriusan pemerintah, sejak awal kemunculannya di Wuhan pemerintah telah menunjukan ketidakseriusan dalam pencegahan maupun penanganan wabah. Terbukti dari beberapa statement yang dilontarkan seperti “corona tidak bisa masuk Indonesia karena cuacanya panas”, “minum jamu bisa menangkal corona” dan statement-statement lainnya. Juga dari kebijakan-kebijakan yang diambil seperti memperbolehkan masuknya TKA China, Eksport APD dan rapid saat awal pandemic, tidak menyetujui karantina wilayah, membolehkan pulang kampung dan pada akhirnya memberlakukan New Normal Life padahal curva belum juga melandai. Hal ini dilakukan oleh pemerintah dengan alasan memulihkan perekonomian yang kian memburuk mengakibatkan banyak pengangguran baru dan meningkatkan angka kemiskinan.
Nyatanya persoalan pengangguran dan angka kemiskinan bukan diakibatkan oleh covid-19 karena sebelum adanya covid-19, 2 masalah ini tak pernah bisa terselesaikan. Covid-19 hanyalah pembongkar kerusakan yang telah terjadi karena kesalahan sistemik yang selalu mengekor pada Barat. Selain kurangnya edukasi terkait covid, ketidakseriusan kebijakan yang diambil oleh pemerintah ini juga berdampak pada banyaknya masyarakat yang menganggap covid-19 hanya hoax, merasa aman-aman saja melakukan aktivitas diluar rumah tanpa melaksanakan protocol kesehatan dan bahkan menolak untuk melakukan pemeriksaan dan penanganan pasien dengan positif covid-19.
Selanjutnya beberapa pertimbangan pemerintah terkait urgensitas pelaksanakan pilkada serentak ditengah pandemic ini juga cukup riskan pasalnya pertimbangan-pertimbangan yang dibuat tidak melihat dari aspek kesehatan masyarakat dan juga tidak melibatkan pakar epidemilog dalam melihat perkembangan kasus yang kian meningkat dan memakan korban jiwa.
Pertimbangan yang pertama adalah terkait ketidakpastian kapan wabah ini berakhir sehingga pilkada serentak harus tetap dilaksanakan karena jika diundur lagi maka akan terjadi kekosongan jabatan. Pertimbangan ini menunjukan pesimisme pemerintah dalam penanganan covid-19 sehingga pemerintah tidak lagi serius dan mengesampingkan data kenaikan kasus harian positif covid juga kenaikan data meninggal akibat covid-19. Tepat enam bulan pandemi Covid-19 melanda Indonesia, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) menyampaikan data, ada sebanyak 104 dokter meninggal dunia akibat terpapar Covid-19. (Kompas.com) Termasuk salah satunya adalah ketua IDI Papua Barat yang terkonfirmasi meninggal dunia akibat terpapar covid-19.
Pertimbangan yang kedua adalah pilkada serentak dilakukan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat yang nantinya akan menjadi petugas atau terlibat dalam pelaksanaan pilkada. Pertimbangan inipun kurang tepat jika dikatakan demi meningkatkan perekonomian sebab dana yang di pakai untuk pilkada bukan hanya untuk para petugas pelaksana pilkada tetapi juga untuk kebutuhan logistic, APD dan lainnya, sehingga besaran dana yang digelontorkan tidak serta merta bisa menaikan perekonomian yang signifikan.
Kukuhnya keputusan pemerintah untuk melaksanakan pilkada ini dikomentari juga oleh berbagai pengamat politik. sebagian pihak menyebut momen pilkada di tengah pandemi diputuskan agar kroni penguasa tidak kehilangan kesempatan duduk di kursi kuasa. Seperti yang disampaikan oleh pengamat politik dari Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang, Mikhael Raja Muda Batanoa, ia menyatakan pelaksanaan pilkada 2020 yang berlangsung di tengah pandemi Covid-19 akan menguntungkan oligarki politik. Termasuk juga petahana dan calon-calon baru yang punya kekuatan uang dan logistik. (elshinta.com, 23/6/2020)
Hal senada juga disampaikan oleh pengamat politik Universitas Sebelas Maret (UNS) sekaligus mantan Ketua KPU Sragen Agus Riewanto, ia menilai bahwa dari peserta pilkada, jelas petahana paling diuntungkan. Akhirnya pilkada tidak berjalan dengan adil. 90 persen incumbent banyak yang menang disebabkan kebijakan realokasi anggaran APBD bantuan Covid-19, yang pegang anggaran ialah kepala daerah. Sementara kepala daerah bisa memanfaatkan kebijakan dengan kampanye. (radarsolo.jawapos.com, 1/6/2020)
Pilkada 2020 jika tetap diselenggarakan sangat berat, sulit dan mahal. Ditambah lagi, tak sedikit yang mengkritik bahwa mekanisme demokrasi (pilpres dan pilkada) justru mengekalkan sistem kriminal yang menghasilkan legitimasi perampokan kekayaan negara dan penyengsaraan nasib rakyat.
Demokrasi yang digadang-gadang oleh pemimpin negeri justru dianggap oleh Rizal Ramli (Mantan Menteri ekonomi) sebagai demokrasi kriminal. Demokrasi Indonesia merupakan demokrasi kriminal karena mengikuti sistem politik di Amerika Serikat. Akibatnya, korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) semakin banyak, bukan justru berkurang. (beritasatu.com,15/1/2019)
Maka patutlah kita perlu menyudahi aktivitas sebagai pengekor terhadap kebijakan Amerika Serikat dan mulai belajar mencontohi aturan-aturan, kebijakan-kebijakan dan sistem-sistem yang lebih solutif dan telah terbukti berhasil menjadikan negeri menjadi baldatun thayyibatun wa robbun ghofur. (**)