Oleh: Srihartati Hasir
Embaranmedia.com – Proyek Strategis Nasional (PSN) adalah proyek – proyek infrastruktur Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo yang dianggap strategis dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan, kesejahteraan masyarakat, dan pembangunan di daerah, salah satunya melalui pengembangan Kawasan Industri Terpadu (KIT). Pemerintah terus mendorong pemerataan pembangunan kawasan industri di seluruh Indonesia, salah satunya dengan mengakselerasi Kawasan Industri Terpadu (KIT) “raksasa” di Indonesia bagian timur yakni Fakfak, Papua Barat.
Ada beberapa Proyek Strategis Nasional yang nilai investasinya mencapai triliunan yang sudah selesai, sementara dan akan di bangun di Kawasan Industri Fakfak, yaitu Bandara Siboru yang mulai beroperasi 25 januari 2024 (https://rri.co.id, 05/12/2023), pembangunan pabrik pupuk kaltim yang sudah melakukan groundbreaking atau peletakan batu pertama pada kamis 23/11/2023 oleh Presiden Joko Widodo (https://papuabarat.tribunnews.com,23/11/2023), dan rencana pembangunan smelter PT Freeport yang merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh PT Freeport untuk perpanjangan kontrak Izin Usaha Penambangan Khusus (IUPK) yang berakhir pada 2041 sekaligus penambahan saham negara sebesar 10% (https://nasional.kompas.com, 14/11/2023).
Proyek Kawasan Industri Terpadu (KIT) di Fakfak ini sudah masuk ke dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 – 2024. Rancangan ini yang katanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar, membuka lapangan pekerjaan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sangat rawan di “swastanisasi” karena melihat bagaimana skema KPBU yang digunakan dalam proyek ini.
Keinginan kuat pemerintah untuk melakukan pembangunan yang massif di seluruh wilayah Indonesia termasuk di papua barat tentu patut diapresiasi. Tapi dalam proyek pembangunan yang besar ini harus memprioritaskan aspek keadilan atas lingkungan, hutan, dan juga alam. Nyatanya, banyak proyek Kawasan industri yang tidak memperhatikan aspek keadilan atas lingkungan, hutan dan juga alam sehingga yang terjadi adalah perampasan ruang hidup atas nama pembangunan. Ruang hidup yang dimaksud oleh penulis disini adalah daratan, lautan dan udara sebagai satu kesatuan wilayah tempat manusia dan makhluk lainnya hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. Kita memerlukan ruang hidup yang nyaman seperti membutuhkan lahan yang memadai, air dan udara yang bersih, iklim yang kondusif, dan tersedianya infrastruktur yang layak berupa jalan, serta semua sarana pemenuhan kebutuhan di bidang pendidikan, kesehatan, dan keamanan.
Namun pengalih fungsian lahan atas nama pembangunan yang tidak diurusi dengan baik dan adil justru mengakibatkan dampak buruk di tengah masyarakat seperti hilangnya lahan produktif, hilangnya mata pencaharian, kehilangan rumah akibat penggusuran, pengangguran meningkat, kerusakan lingkungan, kerusakan ekosistem laut, masalah kesehatan dan lain sebagainya. Beberapa konflik ruang hidup terjadi beberapa bulan terakhir, misalnya Konflik Rempang yang berawal dari penolakan warga terhadap proyek Rempang Eco-City. Dimana proyek tersebut membuat warga terancam kehilangan tempat tinggal yang sudah mereka huni secara turun-temurun. Dan tidak menutup kemungkinan, di fakfak juga akan terjadi hal yang semisal. Yang namanya sebuah industri pasti menghasilkan limbah pabrik, termasuk industri pabrik pupuk kaltim dan smelter tembaga PT Freeport yang ketika dibuang di laut maka akan merusak ekosistem laut yang mengakibatkan mata pencaharian warga pesisir fakfak akan terganggu, nelayan pasti akan mengeluarkan biaya akomodasi yang lebih besar lagi untuk melaut, diperparah dengan harga barang juga semakin mahal, anak banyak putus sekolah, kualitas SDM rendah, belum lagi gangguan kesehatan, stunting, membuat angka pengangguran semakin tinggi, kaum ibu dipaksa jadi tulang punggung dan masih banyak lagi efek buruk yang akan dirasakan oleh masyarakat akibat perampasan ruang hidupnya.
LANTAS, PEMBANGUNAN KAWASAN INDUSTRI UNTUK SIAPA?
Jika kita lihat, Penguasa menggunakan skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) dalam proyek pembangunan dan pengembangan Kawasan Industri, tentunya kita sudah bisa menebak untuk siapa sebenarnya pembangunan ini. Siapa lagi kalau bukan para pemilik modal. Pemerintah sudah seperti penyedia karpet merah bagi investor kapitalis baik lokal maupun asing. Atas nama pembangunan dan membuka lapangan pekerjaan sebesar-besarnya menjadi dalih bagi penguasa untuk merampas ruang hidup yang layak bagi rakyat untuk mengakomodasi kepentingan para investor. Penguasa lebih menunjukkan keberpihakannya pada kepentingan para investor dibandingkan dengan kewajibannya dalam pemenuhan kebutuhan rakyat. Sedangkan investasi asing sebenarnya adalah imperialisme gaya baru untuk menguatkan cengkeraman dan kerakusan mereka dalam menguasai kekayaan negeri ini.
Dalam ekonomi kapitalisme, tanah merupakan salah satu faktor produksi penting untuk mendirikan infrastruktur yang mendukung proses produksi. Di sinilah relevansi antara kapitalis dan pemerintah yang akan bekerja sama untuk memperoleh faktor produksi tersebut. Maka wajar jika terdapat relasi simbiosis mutualisme antara pengusaha dan penguasa. Dimana para kapitalis akan berusaha menguasai ruang dan waktu untuk mendukung penguasaan atas perekonomian dan menyediakan kekayaan bagi penguasa, sedangkan pihak penguasa yang berkuasa atas teritorial akan menyediakan regulasi yang lebih memudahkan para kapitalis. Wajar jika jeritan rakyat bukan sesuatu yang mesti diperhatikan. Tindakan represif, kriminalisasi, hingga penggusuran paksa, merupakan praktik-praktik kekuasaan yang telah terakomodasi oleh kepentingan pemodal. Dengan kata lain, perampasan ruang hidup merupakan implikasi dari kepentingan kekuasaan dan akumulasi keuntungan, sedangkan penduduk setempat hanya sebagai korban.
Dalam ekonomi kapitalistik, kebebasan kepemilikan diagungkan sehingga yang kuat akan dapat menguasai sumber daya yang besar sementara tiap-tiap individu akan dibiarkan mengurusi kehidupannya sendiri sedangkan negara hanya bertugas sebagai pengawas, pengontrol dan regulator.
ISLAM MENGATUR KEPEMILIKAN LAHAN DAN FUNGSI PEMIMPIN
Berbeda dengan sistem hukum lahan di negeri ini yang membiarkan pemilik modal bisa menguasai lahan seluas apa pun, syariat Islam Islam mengatur kepemilikan lahan dengan sangat adil dan terperinci. Setiap warga berhak untuk memiliki lahan, baik dengan membelinya maupun melalui pemberian, seperti hadiah, hibah, dan warisan. Islam juga membolehkan Khilafah membagikan tanah kepada warganya secara cuma-cuma. Sedangkan berkaitan dengan tanah tidak bertuan, syariat Islam menetapkan bahwa warga bisa memilikinya dengan cara mengelolanya. Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, tanah itu menjadi miliknya dan tidak ada hak bagi penyerobot tanah yang zalim (yang menyerobot tanah orang lain).” (HR At-Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad).
Selain itu, syariat Islam juga mengingatkan pemilik lahan agar tidak menelantarkannya karena penelantaran selama tiga tahun menyebabkan gugurnya hak kepemilikan atas lahan tersebut. Selanjutnya, lahan itu akan diambil paksa oleh negara dan diberikan kepada pihak yang sanggup mengelola lahan tersebut. Ketetapan ini berdasarkan ijmak sahabat.
Imam Abu Ubaid dalam Al-Amwâl hlm. 328 menjelaskan bahwa Khalifah Umar ra. pernah mengambil kembali sebagian lahan milik Bilal bin Al-Harits al-Mazani yang diberi Rasulullah saw. karena beliau melihat lahan tersebut ditelantarkan. Kemudian beliau ra. menetapkan untuk Bilal tanah yang sanggup untuk dikelolanya saja.
Sungguh, Islam telah memberikan aturan yang sangat terperinci dan adil bagi para pemilik lahan. Kepemilikan lahan tidak bisa dibatalkan atau diambil alih oleh siapa saja, bahkan negara sekalipun, hanya karena tidak bersertifikat. Ketika sertifikat menjadi satu-satunya bukti keabsahan kepemilikan lahan, ini justru membuka celah terjadinya perampasan lahan. Pasalnya, ada segelintir orang yang mempunyai akses mengurus sertifikat lahan. Sebaliknya, warga yang tidak mempunyai akses mengurus lahan, status kepemilikannya malah terancam. Bahkan, akibat tidak ada sertifikat, negara seolah bisa semena-mena mengambil-alih lahan milik warga. Benar-benar zalim!
Tentang perampasan tanah, Nabi saw. telah mengancam para pelakunya dengan siksaan yang keras. Beliau saw. bersabda, “Siapa saja yang mengambil sejengkal tanah secara zalim, Allah akan mengalungkan tujuh bumi kepada dirinya.” (HR Muttafaq ‘alayh).
Dalam hadis lain, sabdanya, “Barang siapa mengambil sejengkal tanah saudaranya dengan zalim, niscaya Allah akan mengimpitnya dengan tujuh lapis bumi pada hari kiamat.” (HR Muslim).
Islam mewajibkan negara untuk melindungi kepemilikan rakyatnya, termasuk tanah. Kepemimpinan dalam Islam merupakan manifestasi keimanan sehingga realisasinya akan berujung keberkahan. Ketika negara memang membutuhkan lahan untuk kemaslahatan kaum muslim, negara akan berdialog dengan rakyatnya, kemudian membuat kesepakatan dengan mereka. Jika sudah ada ridha dari rakyat, bisa dilakukan penggantian yang bisa menjamin kehidupan rakyat selanjutnya dan tidak akan merugikan rakyat. Jika masih ada yang belum setuju, tidak boleh dipaksakan, tetapi penguasa dapat terus mengupayakan dengan cara yang baik.
Dalam Islam, penguasa adalah gembala bagi rakyatnya. “Imam itu adalah laksana gembala dan ia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya).” (HR Imam Bukhari dan Imam Ahmad).
Selain itu, negara adalah perisai bagi rakyatnya. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya imam atau khalifah adalah perisai (junnah). Orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung. Jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah dan berlaku adil, baginya terdapat pahala. Akan tetapi, jika ia memerintahkan yang selainnya, ia harus bertanggung jawab atasnya.” (HR Muslim).
Oleh karenanya, penguasa dalam sistem Islam akan berhati-hati dan takut jika kepemimpinannya menjadi sebab penderitaan rakyat. Mereka akan memastikan setiap kebijakan yang diambilnya akan memberi kebaikan bagi rakyatnya, baik laki-laki maupun perempuan, dewasa maupun anak-anak. Juga akan memastikan terpenuhinya semua hak dan kebutuhan setiap individu rakyatnya (kebutuhan primer, sekunder, dan tersier).
Tidak hanya itu, khalifah pun akan menyelesaikan konflik lahan yang terjadi di negaranya dengan penyelesaian yang adil. Ini sebagaimana pernah terjadi pada masa Kekhalifahan Umar bin Khaththab (Sirah dari wali beliau di Mesir, Amr’ bin Ash).
ISLAM MENCIPTAKAN LAPANGAN KERJA DAN KESEJAHTERAAN
Jika sistem demokrasi kapitalis memposisikan penguasa sebagai regulator, Islam dengan jelas dan tegas memposisikan penguasa sebagai pengurus sekaligus pelindung umat. Pemimpin tidak boleh menyerahkan seluruh urusan umat pada swasta apalagi asing, termasuk perihal pembangunan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Begitu pun sistem politik dalam Islam yang sederhana, jauh berbeda dengan sistem politik oligarki demokrasi yang mahal. Dalam Islam, tidak ada celah bagi para cukong politik untuk bermain. Ini pula yang menjadikan kebijakan penguasa dalam sistem Islam independen sehingga bisa fokus pada hal-hal yang menjadi kemaslahatan umat.
Adapun seluruh pembiayaannya berasal dari kas negara, tidak bergantung pada investasi, apalagi investasi asing. Jika ada proyek yang membutuhkan modal besar, tetapi kas negara tidak cukup, penguasa akan mengkaji ulang proyek tersebut. Jika proyek tersebut tidak membahayakan jika tidak dilaksanakan segera, pengerjaannya akan ditangguhkan menunggu kas negara terpenuhi. Namun, jika menimbulkan bahaya jika tidak dikerjakan, sekalipun kas negara tidak cukup, negara akan berusaha untuk membangunnya. Pembangunan industri militer, misalnya, yang jika tidak ada tentu akan mengancam kedaulatan negara.
Hanya saja, pembangunannya bukanlah dengan skema utang atau investasi, melainkan menarik dharibah (pajak yang bersifat temporal dan hanya dikenakan pada muslim yang mampu). Pemungutan pajak akan berhenti hingga proyek tersebut selesai.
Lantas, bagaimana jika ada kebutuhan negara untuk menyerap tenaga kerja yang masif? Islam pun memiliki beberapa mekanisme, antara lain menata kepemilikan aset. Harta milik umum tidak boleh diprivatisasi. Di situlah negara bisa leluasa melakukan tujuannya dalam menyerap tenaga kerja. Misalnya, aktivitas eksplorasi dan eksploitasi SDA yang membutuhkan banyak SDM, jika dikelola sendiri, niscaya serapan tenaga kerja akan besar.
Selain itu, negara akan turun langsung dalam mengurus pendidikan tinggi, tidak diserahkan kepada pihak swasta. Dari sini, negara bisa memetakan sistem pendidikan yang tepat bagi anak bangsa, kemajuan negara serta pemerataan pendidikan bagi seluruh rakyat. Inilah yang akan menjamin terciptanya SDM berkualitas yang dapat membawa keluarga pada kesejahteraan. Jadi tidak ada ceritanya perempuan dijadikan penggerak ekonomi.
KHATIMAH
Kondisi rusak hari ini sudah seharusnya menyadarkan kita untuk memalingkan pandangan kita dari sistem demokrasi dan mewujudkan kembali kondisi ideal dengan penerapan sistem kehidupan Islam kaffah yang menjamin kemaslahatan bagi umat manusia dan kehidupan seluruhnya dengan tiga pilar penyanggahnya, yakni ketakwaan individu, kontrol masyarakat dan peran negara.
Demikianlah, hanya dengan syariat Islam kafah semua kebijakan itu bisa diterapkan secara tegas dan terperinci. Lingkup kekuasaan dijauhkan dari kepentingan pribadi dan golongan. Siapa pun, sepanjang mereka menjadi warga negara daulah Islam, wajib bagi negara untuk mengurusinya. Tidak memandang miskin atau kaya, mereka mempunyai hak yang sama, apalagi untuk pemenuhan kebutuhan dasar. Ini hanya bisa diterapkan dalam system Islam yang mengikuti minhaj atau jalan kenabian.
Hari ini, bagi siapa saja yang menginginkan perubahan, sudah seharusnya mengembalikan pengurusan manusia pada sistem Islam, bukan pada sistem oligarki yang lahir dari kapitalisme. Wallahu ‘Alam. (**)